Minggu, 14 November 2010

SEGELINTIR KEHIDUPAN DI JAKARTA


Hujan deras mengguyur bumi pertiwi, tak kenal lelah, hujan pun sudah berlangsung selama 4 jam lamanya. Waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore dan kota Jakarta ini, masih saja basah. Ku putuskan untuk mengambil payung butut ku satu-satunya, ku bentangkan kainnya dan ku pegang erat penyangganya. Aku berjalan menyusuri gang jalan sampai ke jalan raya.
Ku lihat lalu lalang kendaraan dengan suara bising klakson angkot yang selalu berbunyi setiap ada orang yang berdiri menunggu di tepi, tanda menawarkan tumpangan. Ku iya kan tawaran salah satu angkot itu dan kunaiki angkot 24 jurusan Kebun Jeruk-Srengseng. Sambil menutup payung, aku duduk di  samping supir yang sedang asik menyetir sambil mendengarkan lagu dangdut favorite masyarakat Indonesia “Keong Racun”.
Asiknya dia menggoyangkan kepalanya sambil menyetir, mungkin menjadi penghiburnya di kala menghadapi macetnya jalanan ini. Namun, di kala musik masih berjalan sampai dengan reff-nya, supir angkot pun mulai tak sabar dan berteriak “Woy, jalan woy, dasar taksi bego”, umpatnya sambil membunyikan klakson berkali-kali. Tak kehilangan akal, supir angkot pun menyalip dari sebelah kiri ke arah kanan dengan gesit, mendahului taksi yang di depannya karena kesulitan bergerak. “Dasar taksi bego, masih jauh tuh, masih muat jalannya, bikin macet aja lo”, teriaknya lagi sambil melewati taksi tersebut. Setelah menyalip, angkot pun melaju kencang menyusuri jalan. Sesekali hampir menyerempet motor, namun dengan ke-tak-peduli-an supir itu, dia tetap melaju di jalur jurusan Kebun Jeruk-Srengseng tersebut.
Sesekali ku hela nafas ini, mengadaptasi keadaan sekitar yang ada, mencoba membiasakan diri dengan kelakuan supir angkot yang ugal-ugalan sambil mendengar musik dangdut yang entah apa bagusnya sampai lagu ini membuat si supir tetap asik menggoyangkan kepalanya sambil menyetir.
Jakarta oh Jakarta, tiada hari tanpa macet. Ini lah kenyataan ibu kota negara ini. Suasana balik setelah lebaran rupanya hanya membangunkan mimpi para penduduk kota Jakarta yang masih berharap kenikmatan kosongnya jalan raya kota ini sewaktu musim mudik lebaran.
“Kiri bang”, teriak salah satu penumpang, membuat ku tersadar dari khayalan ku mengenai betapa menyenangkannya bila Jakarta sepi.
“Sebentar ya neng, depan sedikit”, jawab supir angkot.
Aku pun ikut turun karena harus mengganti kendaraan lagi untuk sampai ke tempat tujuan ku. Ku naiki bus yang lewat tidak lama setelah ku turun dari angkot.
Sesak dan padat. Ini yang dapat ku deskripsikan mengenai semua bus di Jakarta termasuk yang sedang ku tumpangi. Berdesak-desakan dengan penumpang lain membuat diri ini harus lebih waspada dengan tas bawaan ku. Sambil bergelantungan satu tangan, tas ku pegang dan ku himpit ke dada. Tidak mudah menghadapi situasi ini, bau keringat bercampur parfum yang sudah entah bagaimana wanginya bersatu padu dengan udara luar yang masuk melalui jendela bus.
Lagi-lagi kemacetan jalan yang harus ku hadapi, pelannya bus berlaju ditambah gas-rem yang tak menentu akibat padat merayapnya jalan, membuat ayunan kecil yang memabukkan penumpang bus kota ini. Angin semriwing dan letihnya badan membantu suasana yang sulit terelakan bagi penumpang untuk tetap melek. Satu per satu yang masih terjaga dari sadarnya, perlahan-lahan mulai munutupkan matanya sambil sesekali kepala terjatuh mengangguk menyusul penumpang lainnya yang sudah ke alam mimpi. Aku tetap mencoba untuk tersadar meskipun mata ini sulit untuk tetap terbuka, namun hilangnya Nokia ku beberapa waktu silam membuat tekad ku bulat untuk tidak mengulangi hal sama di dalam bus kota ini.
“Anggrek... Anggrek... Anggrek...”, teriak kenek bus, tanda bus ini sudah hampir sampai di daerah Mall Taman Anggrek.
Aku berjalan ke depan dan berdiri di samping supir bus. Barisan mulai terbentuk, sudah banyak orang juga yang ingin turun disana. Tanpa banyak berkata-kata dari pihak penumpang, supir bus pun sudah tahu harus berhenti di tempat pemberhentian halte Mall Taman Anggrek. Satu per satu barisan keluar dari busnya dan memencar ke arah tujuan masing-masing.
Hujan sudah reda. Sambil berjalan menyusuri gang-gang ke arah rumah ku, sesekali kutatap langit. Memperhatikan betapa indahnya bulan dan bintang di langit setelah hujan turun. Samar-samar terlihat, namun tetap indah dipandang mata. Sayang, indahnya langit tak mampu mengalahkan suasana hati yang kacau saat menghadapi kemacetan kota ini. Suasana hati ku yang menyatakan ‘Aku tidak suka sepi, tapi aku juga tidak suka tinggal di tempat yang seramai kota ini.
Entah bagaimana caranya, kota ini selalu saja didatangi pendatang baru dan selalu ada tempat untuk menampungnya. Gedung-gedung bertingkat berstatuskan apartemen menjadi pilihan pendatang baru yang mampu secara ekonomi untuk tinggal di kota ini. Sedangkan untuk penduduk yang kurang secara ekonomi, memilih untuk mengontrak di rumah kecil dan nyaman seperti keluarga ku.
Jakarta oh Jakarta, harus mempunyai kesabaran tingkat tinggi dan niat yang berarti untuk tinggal disini. Kalau bukan karena ayah ku telah mendapatkan pekerjaan tetap disini, sudah pasti lah aku mendesak ayah dan ibu ku untuk pindah ke Kalimantan.
“tin... tin... tin... byur...”, suara klakson mobil mengagetkan ku, cipratan genangan air hujan pun tak dapat terelakan. Basahnya seperempat bagian celana ku membuat ku ingin mengeluarkan sumpah serapah kepada si pengendara mobil itu. Sambil mengelus dada, ku wajibkan atas diriku untuk menahan amarah yang tidak ada gunanya ini, meski tak mudah untuk dilakukan. Namun, tidak berarti ini akan mengembalikan mood-ku menjadi baik.
Begitu lama aku berjalan, akhirnya sampai juga ke depan rumah ku. Kulanjutkan perjalanan ku ke arah dapur rumah melalui pintu samping, ku lihat ibu ku sedang membuatkan minuman untuk seseorang.
“Itu teh manis buat Indi ya bu?”, goda ku kepada ibu ku.
“Bukan, ini untuk bapak mu. Kamu mau?”
“Mau dong bu”, jawab ku manja.
“Ya sudah, mandi dulu sana. Nanti ibu bikinkan. Kamu sudah makan?”
“Sudah, tadi di kantor. Kalau begitu Indi mandi dulu ya bu”, jawab ku sambil mengecup kening ibu ku.
Ku langkahkan kaki menuju kamar, ku nyalakan tape dan putar tune-nya ke frekuensi 97,5 FM, Motion Radio. Lagu berjudul Baby milik Justin Bieber pun bergema di seluruh tembok kamar ku mengawali suasana santai, setelah penatnya sebagian kecil problema Jakarta ku hadapi.
Ku ambil baju dan beranjak menuju kamar mandi. Ku bersihkan tubuh ini dari keringat dan debu yang telah menempel selama berjam-jam. Emmm… segarnya, kenikmatan duniawi yang hanya bisa di dapat di ruang kecil seluas1 x 1 m2 ini membuat suasana hati menjadi cerah kembali. Ku selesaikan mandi dan meninggalkan ruang kecil itu. Ku nikmati malamnya hari dengan secangkir teh buatan ibu ku sambil mendengarkan alunan musik dari radio tape, mantab rasanya.
Sesekali ku lihat BlackBerry-ku yang berbunyi, ada notification baru yang masuk ke facebook-ku. Beberapa foto-foto narsis dari teman-teman ku yang di tag ke account-ku muncul di profile-ku, hanya untuk menunjukkan kelucuan-kelucuan mereka yang telah mereka perbuat dan dijadikan bahan pembicaraan di comment-nya. Senyuman kecil merekah di wajah ku melihat foto-foto itu. ‘Ada-ada saja perbuatan mereka’, suara hati kecil ku bicara. Terkadang alat elektronik ini juga cukup membantu ku untuk menghibur diri di kala stress-nya pekerjaan melanda.
Ku akhiri hari dengan merebahkan badan ke tempat tidur, ku gerai selimut untuk menghangatkan tubuh ini. Ku pejamkan mata dan berharap mendapatkan semangat baru lagi di keesokan harinya untuk memulai aktivitas sehari-hari.

Senin, 01 November 2010

Cermin-cermin berkaca

Cermin-cermin berkaca
ada apakah dengan indonesia
begitu banyak datang bencana
begitu banyak korban yang tiada

Cermin-cermin berkaca
rupanya Tuhan sudah murka
melihat kelakuan umat Manusia
yang tiada henti-henti berbuat dosa

Cermin-cermin berkaca
adalah datang sebuah tanda
bahwa tobat harus terlaksana
demi negri yang aman dan sentosa

Cermin-cermin berkaca
semoga Tuhan masih memberi muka
bagi tobat mereka yang sepenuh jiwa
untuk mendapat perlindungan dimana pun berada