Kamis, 19 Juli 2012

Sebatas Fajar

Pintu terbuka, seorang wanita muda memasuki apartemen dan menggantung jaketnya di gantungan pintu. Matanya disuguhkan dengan tatanan sofa dan televisi yang berada di ruang tengah yang juga menjadi ruang tamunya. Dia kemudian melangkahkan kaki menuju kamarnya. Senyum kebahagiaan mulai terlukis di wajahnya yang penat akibat kesibukan kantornya. Kesibukan yang membuatnya hampir tidak dapat merasakan rasa rindu kepada kekasih hatinya yang sekarang berada di hadapannya. Dia segera menghampiri dan memeluk kekasihnya itu.

“Aku merindukanmu”
“Aku juga, Cisa. Bagaimana dengan harimu?”
“Sibuk. Pak Yosan hampir tidak mengijinkanku istirahat sebelum semua laporan keuangannya rampung” Cisa duduk di ranjang kamarnya sambil merenggangkan tubuhnya.
“Berarti kamu belum makan dari tadi siang?”
“Sudah. Tapi terlambat. Aku baru makan jam 3 sore tadi. Semua laporan sudah kuselesaikan dan langsung aku taruh di meja kerjanya.”

Kedua insan itu terdiam sejenak. Mata mereka saling memandang. Hati mereka bertautan. Senyum merekah menjadi bahasa yang menghantarkan mereka kepada satu kalimat ‘aku menyayangimu’. Namun kemudian wajah Cisa menjadi gelisah, satu petir telah menyambar pikirannya yang membuatnya tersadar akan keadaan mereka saat ini.

“Aku ingin kita bersama selamanya”
“Kita sudah selalu bersama”
“Belum. Aku hanya bisa bertemu denganmu malam hari saja sekarang ini. Aku juga ingin menemuimu disaat lain.”

Mereka terdiam lagi. Kali ini ada wajah tak yakin yang Cisa dapatkan dari kekasihnya.

“Aku rasa kita hanya bisa seperti ini, Cisa”

Cisa terdiam. Dia sungguh tidak ingin kalimat yang baru saja di dengarnya itu keluar dari mulut kekasihnya.

“Kenapa? Aku mencintaimu dan kamu mencintaiku. Tak ada halangan bagi kita untuk bersatu selamanya bukan?”
“Umurmu sudah tidak muda lagi. Mungkin sebaiknya kamu mencari pria yang tepat dan mencintaimu dengan sungguh-sungguh.”

Petir yang kedua kalinya menyambar. Kali ini di tempat yang berbeda, bukan di pikirannya, tapi di hatinya.

“Aku tidak mau yang lain, Elanor. Aku mau kamu”
“Kita sudah saling memiliki. Tidak ada keraguan lagi mengenai perasaan kita. Tapi sekarang yang perlu kamu pikirkan adalah masa depanmu. Kamu tidak perlu lagi memikirkan aku dan hubungan kita. Kita baik-baik saja”
“Kita tidak baik-baik saja. Aku ingin selalu bertemu denganmu”
“Kamu tahu itu tidak bisa. Kamu memerlukan orang lain selain aku. Kamu butuh berkeluarga”

Cisa terdiam. Dia menangis. Hatinya teriris. Sama teririsnya dengan Elanor yang kemudian duduk di ranjang dan memegang tangan Cisa.

“Cisa, jangan menangis. Aku sedih melihatmu begini”

Cisa memandang Elanor dalam-dalam. Hatinya sakit harus membayangkan keinginan Elanor jika terjadi. Namun begitu, sebagian dari dirinya merasa yang dikatakan Elanor benar bahwa dia membutuhkan pendamping saat ini. Dia membutuhkan keluarga yang bisa mengisi hari-harinya. Namun, sebagiannya lagi menolak. Ada perasaan dimana dia merasa Elanor itu cukup baginya. Hanya Elanor.

Elanor menggelengkan kepala seolah dia membaca pikiran Cisa.

“Tidak, Cisa. Aku tahu ini keputusan yang berat untukmu. Tapi kamu harus menyingkirkan keegoisanmu dulu dan berpikirlah jauh ke depan. Kamu akan lebih bahagia mempunyai sebuah keluarga.”
“Aku tidak yakin berkeluarga akan membuat diriku lebih bahagia daripada bersamamu. Aku lebih memilih hubungan kita yang sekarang daripada menikah”
“Kamu tahu, kamu begitu mirip denganku. Kamu berkeinginan kuat, mandiri, tidak mudah putus asa, tapi kamu juga tidak berpikir panjang. Kamu lebih memilih zona aman yang kamu punya sekarang. Kamu menginginkan sesuatu yang lebih tapi kamu tahu itu tidak mungkin bisa sekuat apapun keinginan itu.”
“Karena itu aku mengagumimu, Elanor. Karena kita sama. Karena kamu yang paling mengerti aku.”

Cisa kembali menyelami lebih dalam lagi tatapan Elanor untuk melihat rasa untuknya. Dan itu masih ada tapi kali ini lebih dalam. Seperti sudah tidak dapat dipisahkan lagi. Namun, Cisa menemui rasa yang lain disana. Rasa pedih. Kepedihan akan kenyataan bahwa kebersamaan mereka tidak akan seperti yang diharapkan.

Cisa mendekap ke dada Elanor. Berbagi rasa yang mereka punya untuk dinikmati walau hanya sebentar. Walau hanya sebatas fajar. Walau hanya untuk menumpahkan air mata terakhir.

Matahari mulai menyingsing, perlahan-lahan cahaya mulai menembus jendela kamar menerangi seisi ruangan.

“Cisa, ini saat terakhirku berjumpa denganmu. Keputusan ini sudah kumantabkan demi kebaikanmu. Tapi kamu tidak perlu khawatir. Aku akan selalu bersamamu.”

Cisa hanya bisa terisak dan terus memandang Elanor sebelum dia pergi

“Kamu tahu dimana aku berada. Aku menyayangimu”

Perlahan tapi pasti tubuh Elanor mulai menghilang ke bawah. Menyatu dengan dinginnya lantai yang baru saja diterangi mentari. Berubah gelap menjadi bayangan yang berada di bawah kaki Cisa.

Cisa melangkah pergi menuju lemari bajunya dan memandang pantulan cermin yang sosoknya serupa dengan kekasih hatinya.

“Aku juga menyayangimu, Narcisa Elanor Martinez”