Rabu, 28 Maret 2012

Bangku Impian

Cerita hari ini berkisah mengenai sebuah bangku sekolah. Bangku yang menjadi pusat perhatian ketika dulu pertama kali ku jejakan kaki di kelas XII.1. Kelas ini adalah kelas unggulan dan di kelas unggulan ini terdapat bangku sekolah unggulan. Ya benar, bangku sekolah unggulan. Seluruh murid-murid di sekolah ini menyebutnya bangku impian. Karena semua murid yang pernah menduduki bangku itu selama setahun, bernasib mujur. Mungkin ini hanyalah mitos yang dikarang-karang dari jaman buyutnya kakak kelas, tapi orang-orang seperti Direktur dari Perusahaan Kilangan Minyak No. 1, Bambang Tamtaman, Politikus Muda Termasyur, Indra Irsanya, Pelukis yang Go International seperti Mirsya Arzani, dan tentu saja wali kelas XII.1 yang mendapatkan banyak penghargaan karena penemuan-penemuan benda-benda arkeolognya, Prof. Sania Ahbidab, semuanya pernah menduduki bangku impian itu selama setahun penuh di kelas ini. Prof. Sania Ahbidab atau biasa kami memanggilnya bu San (dipanggil demikian karena dia tidak mau terlihat begitu tua) adalah wakil kepala sekolah yang juga menjabat sebagai wali kelas XII.1. Dia membuat suatu kejutan kepada semua murid kelas XII.1 di hari pertama kami masuk kelas dan itu bermula gara-gara bangku impian, bangku yang terletak paling depan dan berada di urutan ke-3 dari pintu masuk.

“Eh itu bangku impian...”, seru Damian sambil berlari ke arah bangku tersebut dan bertepatan saat dia mendudukinya, James pun juga menduduki bangku itu.
“James, gue udah duluan duduk di bangku ini, lo mending cari bangku yang lain aja”
Sorry bro, gue yang lebih dulu duduk disini, jadi mending lo aja yang cari bangku lain”
“Lo ngajak ribut sama gue? Jelas-jelas dari tadi tuh gue yang sampai ke sini duluan bukan lo”

Keributan terjadi di kelas. Perkelahian antara Damian dan James menjadi kegiatan pembuka di hari pertama kami memasuki kelas ini.

“Semuanya diam!!!”

Suara keras menggema dari ujung pintu mengheningkan suasana kelas, seorang wanita paruh baya nan cantik jelita berjalan menuju meja guru. Semua murid bersegera duduk ke tempat duduk secara acak dan Damian beserta James duduk di bangku impian.

“Saya tahu rumor itu sudah berkembang cukup lama di sekolah ini, dan saya sangat mengerti apa yang kalian ributkan disini. Saya Prof. Sania Ahbidab, wali kelas XII.1. Kalian bisa memanggil saya bu San. Saya akan membuat suatu kompetisi untuk memperebutkan bangku impian itu dan kompetisi ini berlaku untuk semua murid yang ada di kelas ini”

Semua terdiam. Hening. Sesekali kami saling menatap kepada yang lain sambil berbisik-bisik, mengenai perkataan bu San.

“Siapapun yang memenangkan kompetisi ini selain bisa menduduki bangku itu selama satu tahun pelajaran, juga akan saya berikan nilai tambahan untuk ujian akhir geografi”

‘Apa? Nilai tambahan untuk ujian akhir geografi? Ini kan baru awal tahun pelajaran’, semua membisikan kalimat itu kepada satu sama lain. Hadiah yang sangat menarik. Siapa yang tidak mau mendapatkan nilai tambahan untuk ujian akhir yang pelajarannya dimulai saja belum. Apalagi bisa menduduki bangku impian itu selama satu tahun pelajaran penuh.

“Kompetisinya mudah. Kalian harus menebak teka-teki dari saya dan saya akan memberikan waktu selama seminggu untuk menjawabnya. Jika setelah seminggu tidak ada yang bisa menjawab teka-teki ini dengan benar, maka bangku itu tidak akan ada yang boleh menempatinya selama satu tahun pelajaran.”

Bu San kemudian berjalan menuju papan tulis dan mulai menuliskan sesuatu

“Apakah aku? Ketika benang putih terpisah dari benang hitam, si bodoh datang menghampiri ku dan ketika sang raja mulai mengantuk, si pintar pergi meninggalkan ku. Aku mempunyai pasangan. Tanpa pasangan ku, aku akan sulit dipakai si pintar untuk berkarya dan tanpa aku, pasangan ku tidak akan berarti untuk si bodoh. Aku menjadi yang diperhatikan, maka perhatikanlah aku. Siapapun yang mengenal ku akan ku bantu untuk membuat mimpinya menjadi nyata.”

“Catatlah ini baik-baik. Jika ada yang sudah tahu jawabannya, silakan datang ke ruang guru untuk menemui saya dan ungkapkan jawabannya disana”

Setelah bu San menulis demikian, semua mencatatnya dan mulai memikirkan jawabannya. Tidak hanya Damian, James, dan anak-anak yang lain, aku pun juga ingin menduduki bangku itu. Berhari-hari aku memikirkan jawabannya, namun sangatlah sulit untuk mendapatkan jawabannya. Satu per satu anak-anak di kelas ini sudah mencoba menjawabnya, tapi belum ada satu pun yang menjawabnya dengan benar. Kecuali Damian dan James. Mereka sangat berhati-hati dalam memikirkan jawaban ini. Pernah suatu kali saat pulang sekolah aku melihat James duduk di bangku impian sendirian, memperhatikan bangku itu, kemudian menatap ke depan. Entah mengapa, tiba-tiba dia begitu girang, namun tak lama kemudian wajahnya berubah seperti mendapat kejutan. Aku sangat penasaran dan menghampirinya.

“James”
“Eh Kirana...”, ucapnya terkejut
“Lo kenapa melongo gitu?”
“Oh gak apa-apa. Gue udah tahu jawaban dari teka-teki bu San”
“Oh ya? Apa tuh?”
“Nanti bakal gue jelasin di hadapan semua anak-anak dan bu San”

James tersenyum. Senyumannya seperti seorang filsuf yang mendapatkan filsafat-filsafat baru. Begitu tenang dan dalam. Tidak ada lagi wajah menggebu-gebu pada dirinya seperti sebelum-sebelumnya. Keesokan harinya bu San memanggil Damian dan James untuk menjelaskan jawaban yang mereka dapatkan, tapi bukan dijelaskan di ruang guru melainkan di depan kelas atas permintaan James.

“Oke, dimulai dari Damian. Silakan kamu jelaskan jawaban mu”

Dengan penuh percaya diri Damian memaparkan jawabannya.

Apakah aku? Ketika benang putih terpisah dari benang hitam, si bodoh datang menghampiri ku dan ketika sang raja mulai mengantuk, si pintar pergi meninggalkan ku. Benang putih terpisah dari benang hitam artinya matahari yang mulai terbit yang menandakan pagi hari, si bodoh datang menghampiri ku artinya orang yang belum punya pengetahuan datang menghampirinya, ketika sang raja mulai mengantuk menandakan yang berkuasa, jika konteksnya masih soal waktu artinya yang menguasai hari yaitu matahari dan mulai mengantuk adalah waktu dimana matahari mulai turun yaitu waktu pertengahan antara siang hari menuju sore hari, si pintar pergi meninggalkan ku artinya yang berpengetahuan pergi meninggalkannya. Jadi satu kalimat ini memperumpamakan murid baru yang bersekolah dan pulang dengan pengetahuan dari sekolah.” 

Aku mempunyai pasangan. Tanpa pasangan ku, aku akan sulit dipakai si pintar untuk berkarya dan tanpa aku, pasangan ku tidak akan berarti untuk si bodoh. Aku menjadi yang diperhatikan, maka perhatikanlah aku. Siapapun yang mengenal ku akan ku bantu untuk membuat mimpinya menjadi nyata. Dan dari kalimat-kalimat terakhir ini sudah jelas bahwa benda yang dimaksud pasti bangku impian. Bangku impian berpasangan dengan mejanya, tentu tanpa meja dengan hanya bangku saja murid akan kesulitan untuk menulis dan tanpa bangku hanya dengan meja saja tidak akan bermanfaat bagi murid. Bangku impian juga menjadi perhatian bagi siapapun di sekolah ini dan dia bisa mewujudkan impian siapa saja yang dapat mendudukinya selama setahun.”

Penjelesan Damian diakhiri dengan tepuk tangan satu kelas. Sambil melemparkan senyum bangganya, Damian membungkukkan badan sebagai tanda hormat kepada kami seperti seorang dirigen yang memberikan salam terima kasih di akhir pertunjukan.

“Bagus Damian, tapi penjelasan mu kurang tepat. Dan jawaban mu salah”

Seketika setelah bu San menanggapi penjelasannya, semua murid terdiam dan terkejut termasuk Damian.

“Karena jawabannya adalah papan tulis”, sahut James tiba-tiba 

Aku mempunyai pasangan. Tanpa pasangan ku, aku akan sulit dipakai si pintar untuk berkarya dan tanpa aku, pasangan ku tidak akan berarti untuk si bodoh. Aku menjadi yang diperhatikan, maka perhatikanlah aku. Siapapun yang mengenal ku akan ku bantu untuk membuat mimpinya menjadi nyata. Pasangan tidak selalu harus bangku dan meja, bisa juga papan tulis dengan spidolnya. Hanya dengan papan tulis tanpa spidol murid akan sulit menuliskan jawaban di papan itu jika seorang guru memintanya menuliskan jawabannya, hanya spidol tanpa papan tulis tentu tidak akan ada gunanya bagi murid yang mau mengerti pelajaran. Papan tulis selalu menjadi perhatian di kelas ini, setiap pelajaran pasti menggunakan papan tulis. Jika kalian memahami apa yang ditulis di papan itu pada setiap pelajarannya, kalian pasti bisa menjawab soal-soal dalam ujian, jika ujian kalian menjadi bagus, kalian bisa meraih cita-cita kalian”
Well done, James. Jawaban mu benar”, ucap bu San dengan tersenyum
“Kamu berhak menempati bangku itu dan mendapatkan nilai tambahan pada ujian akhir geografi”
“Terima kasih, bu. Tapi saya rasa saya gak ingin duduk disana lagi. Saya tadinya berpikir kalau bangku ini lah yang membuat setiap yang mendudukinya bisa meraih cita-citanya. Ternyata saya salah. Siapapun yang duduk disini pasti akan terus menatap papan tulis karena letak bangkunya paling depan dan berada di tengah, sehingga mau gak mau yang selalu diperhatikan pasti papan tulis dan itulah yang membuat siapapun yang duduk disini jadi pintar, karena dia belajar. Jadi yang perlu saya lakukan adalah belajar, bukan mempercayai mitos ini”

Bu San berdiri dan memberikan tepuk tangan untuk James dan bak magnet yang menarik paku-paku berserakan, dengan serentak semua murid ikut-ikutan berdiri bertepuk tangan untuk James. Pada akhirnya bangku ini memang tidak ada yang menempati, tapi sudah menjadi sejarah yang terungkap mengapa bangku ini selalu menjadi impian semua orang.