Minggu, 22 November 2015

Lingkaran Setan

Kepalaku masing pening. Aku terduduk di sebuah kursi dengan tanganku terikat di belakang. Aku mencoba membuka mata dan melihat ke depan. Seorang pria berkulit putih dengan baju pantai tersenyum kepadaku.

“Bagaimana mimpimu?”

Aku masih mencoba mengingat apa yang terjadi dan siapa pria ini.

“Obatnya terlalu keras ya? Jangan terlalu di paksa, aku akan membantumu mengingat apa yang sudah kau lakukan.”

Pria itu berjalan mengambil sebuah pisau besar dan duduk di depanku. Sementara Clarissa juga terduduk di sampingnya sambil menangis.

“Apa maumu? Lepaskan perempuan itu. Dia tidak ada hubungannya dengan apa yang sudah kulakukan.”

“Ssshhhtt… jangan berkata dusta, tentu saja perempuan ini ada hubungannya dengan apa yang sudah kau lakukan. Perempuan ini menemanimu saat makan malam di kafe depan gang rumahmu. Tepat disaat yang sama aku menangkapmu. Jika dia tidak menemanimu, tentu dia tidak ada urusannya dengan hal ini.”

“Brengsek kau! Lepaskan dia!”

“Hey, tenanglah. Tenang. Semuanya akan baik-baik saja, jika kau memberitahuku dimana ganja seberat 10 kilogram itu kau simpan.”

Aku terdiam. Mencoba mencerna maksud dari pria yang ada di hadapanku ini.

“Aku tidak tahu.”

“Ckckck… kita tidak sedang berada di sebuah scene film, anak muda. Jangan bertingkah seperti pahlawan kesiangan atau kau akan menyesal.”

“Aku sungguh tidak tahu apa yang kau maksud. Ganja apa? Kapan aku mengambilnya?”

“Baiklah. Karena aku tidak suka basa-basi, kita langsung saja.”

Pria itu berjalan menuju Clarissa dan mengarahkan pisau besar itu ke lehernya.

"Tidak! Jangan bunuh aku. Andrew, tolong aku." Clarissa menangis kencang. Tubuhnya meronta-ronta dan gemetar, sangat terlihat ketakutan menyelimutinya.

“Hey! Hey! Hey! Aku tidak bohong. Aku tidak tahu maksudmu.”

"Andrew, aku mohon beritahu saja dimana ganja itu."

"Aku sungguh tidak tahu dimana ganja itu, Clarissa."

“Rupanya kau lebih serakah dari yang ku kira.”

Pria itu menggorok leher Clarissa tepat di depan mataku. Darahnya menyembur kemana-mana dan matanya terbelalak menatapku, seakan-akan masih memohon pertolongan kepadaku. Aku menangis, menyesali apa yang sudah kuperbuat.

“Aku sudah bilangkan kalau kita tidak sedang berada di scene film. Dan setelah kekasihmu ini mati berikutnya adalah kamu sendiri.”

“Apa? Tidak! Aku tidak ta…”

Pisau itu menikam jantungku. Aku merasakan aliran darah langsung mengucur dari dadaku. Ia menarik pisau itu dan menancapkannya lagi berulang-ulang ke dadaku. Hingga terakhir ia menggorok leherku. Kesadaranku hilang, rasa sakit itu menghantamku seiring dengan luka yang dibuatnya. Dan seketika itu juga nafasku menghilang.


***

Aku terbangun. Menarik nafas sebanyak-banyaknya yang ku bisa. Melihat ke depan dan keadaan sekeliling.

“Ini tidak masuk akal.” ujarku bingung.

Aku masih terduduk di sebuah kursi dengan tangan terikat di belakang. Clarissa masih hidup dan menangis. Tempat duduknya pun tidak berubah, masih di samping pria itu.

“Tidak masuk akal? Rupanya obatnya terlalu keras untukmu.”

Aku masih melihatnya lagi. Dia masih di depanku.

“Ok. Aku akan membuatnya menjadi masuk akal. Semuanya akan baik-baik saja, jika kau memberitahuku dimana ganja seberat 10 kilogram itu kau simpan.”

Pria itu berjalan mengambil sebuah pisau besar dan duduk di depanku. Kejadian yang sama, keadaan yang sama.

“Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku dan Clarissa masih hidup? Bukankah kau baru saja membunuh kami?”

“Aku?” pria itu memandangku dan menoleh ke belakang. Seakan-akan dia sedang mencari orang lain yang aku tuduh. “Aku pasti akan membunuhmu jika kau berlaku sebagai pahlawan kesiangan dan asal kau tahu kita tidak sedang berada di scene sebuah film.

“Ya, aku tahu kau akan berkata seperti itu.”

“Bagus kalau begitu. Berarti kau sudah siap memberikan jawabannya kepadaku.”

Aku terdiam. Memikirkan apa yang harus aku lakukan. Mengapa kejadian ini terulang dan aku masih hidup.

“Anak muda, dimana ganja itu?”

"Jangan katakan dimana ganja itu, Andrew." Clarissa tiba-tiba berbicara

"Dan membiarkan kau mati? Tidak, aku tidak sanggup melihatmu mati untuk yang kedua kalinya Clarissa."

"Jadi?" pria itu bertanya lagi. Aku masih tidak tahu harus menjawab apa.

“Baiklah kalau begitu.” katanya lagi. Ia berdiri dan bersiap untuk membunuh Clarissa untuk yang kedua kalinya.

“Tunggu! Tunggu! Aku tahu dimana ganja itu.”

"Andrew, jangan!" Clarissa berteriak mencegahku, namun aku tak mengacuhkannya.

Pria itu berjalan ke arahku.

“Bagus, seharusnya kau tidak perlu membuatku menunggu.”

“Ehm… ganja… Ehm… ganja itu ada di tasku.”

Pria itu menatapku lekat-lekat. Mencari kebenaran seakan-akan aku telah berbohong.

“Sungguh, aku tidak berbohong. Kau bisa memeriksa langsung tasku dan kau akan menemukannya.”

Pria itu mengambil tas yang ada di sampingku dan merogoh-rogohnya. Sebuah kotak susu di lapisi kantong plastik dikeluarkannya dari tas itu. Dia mengendus-endus dan membuka lapisan plastik dan kotaknya.

“Baiklah, anak muda. Kurasa kau memang tidak berbohong. Aku tahu kau pasti akan lebih mementingkan kekasihmu daripada ganja ini.”

Pria itu tertawa dan menepuk-nepuk pipiku. Dia menaruh lagi ganja itu ke dalam tasku dan meletakan tas itu di meja bar yang berada tidak jauh dari Clarissa.

“Urusan kita sudah selesai, bukan?” tanyaku memastikan.

“Tentu saja.” jawabnya ringan.

“Kalau begitu, lepaskan Clarissa.”

“Pasti.”

Pria itu berjalan ke arah Clarissa. Sekali lagi, dia membuatku memperhatikan tingkah laku sadisnya. Dia menggorok leher Clarissa untuk yang kedua kalinya. Paling tidak, di ingatanku hal itu terjadi sebanyak dua kali.

“Aku melepaskan kekasihmu dari bebannya seumur hidup yang harus ditanggungnya akibat melihat peristiwa hari ini.”

“Apa? Tidak! Kau mengulangnya lagi.”

Pria itu kemudian menghampiriku.

“Dan tentu saja, aku juga akan melepaskanmu dari ingatan yang mengerikan ini.”

Lagi, dia menikamku persis di jantungku, berkali-kali. Untuk kedua kalinya aku merasakan rasa sakit yang berulang-ulang dan kesadaranku langsung hilang.


***

Aku terbangun. Keadaan ini masih sama. Pria berkulit putih yang memakai baju pantai, Clarissa, dan aku yang terikat.

“Apa kejadian ini tidak akan pernah berakhir?” tanyaku heran.

“Tentu saja akan berakhir jika…”

“Jika aku mengatakan dimana ganja seberat 10 kilogram itu aku simpan. Iya kan?”

“Aku suka gayamu anak muda. Langsung menuju ke pusat permasalahan. Kalau begitu waktuku tidak akan terbuang sia-sia.” Ia tersenyum gembira.

“Mengatakan atau tidak mengatakan. Kau tetap akan membunuhku dan Clarissa. Aku sudah melihatnya dua kali.”

Pria itu memandangku heran seakan-akan aku sedang meracaukan hal yang tidak jelas.

“Tidak, obat itu tidak keras dan aku tidak sedang dalam pengaruh obat. Dan aku sangat sadar dengan apa yang kukatakan.”

“Baiklah, jadi dimana kau simpan ganja itu?”

Kali ini aku memutar otakku dengan keras. Mencari tahu bagaimana caranya agar aku bisa lepas dari lingkaran setan ini. Aku tidak bisa mati dan hidup berulang-ulang sambil menyaksikan Clarissa berkali-kali dibunuh oleh pria gila ini.

“Anak muda?”

"Andrew, katakan saja dimana ganja itu." ujar Clarissa.

"Tenang Clarissa, kita akan baik-baik saja. Aku tahu apa yang harus aku lakukan."

"Aku masih menunggu, anak muda."

“Kau tidak menginginkan ganja itu, bukan?”

“Apa?”

“Mendapatkannya atau tidak mendapatkannya, kau tetap akan membunuhku. Itu yang kau inginkan. Membunuh.”

Pria itu terdiam.

“Sementara, baik aku memilih ganja ataupun nyawa kekasihku, aku tidak akan mendapatkan apa-apa.”

“Apa maksudmu?”

“Aku ingin mengakhiri semua ini.”

Aku berusaha bangkit berdiri dengan kursi yang masih menempel denganku dan tangan yang terikat. Aku menabrakan diriku ke dinding hingga kursinya hancur. Aku berlari ke arah meja dan mengambil pisau besar itu.

“Hey! Apa yang kau lakukan?”

“Jangan mendekat! Aku memegang pisau ini dan bisa sewaktu-waktu membunuh diriku sendiri.”

“Apa kau sudah gila?”

“Mungkin. Tapi aku tidak punya cara lain untuk mengakhiri ini semua.”

Kulepaskan ikatan tanganku dengan pisau tersebut dan hendak menusukkan pisau itu ke dadaku. Tapi kemudian aku terdiam sejenak.

"Anak muda, berikan pisau itu kepadaku. Jangan berbuat sesuatu yang kau akan menyesalinya."

"Kenapa aku harus membunuh diriku sendiri jika ketika aku bangun, aku tetap akan melihatmu dan Clarissa dengan keadaan yang sama?"

"Baiklah, serahkan pisau itu kepadaku."

"Tentu saja."

Aku menyerangnya dan menikam dadanya. Ia berusaha melawan namun ku hajar wajahnya hingga tubuhnya jatuh tersungkur. Aku menarik pisau itu dari dadanya dan menusuknya lagi berulang-ulang. Sama seperti yang ia lakukan padaku sebelumnya. Dan kemudian ku akhiri nyawanya dengan menggorok lehernya. Aku melepaskan ikatan di tangan Clarissa dan ia memelukku.

"Tenanglah, Clarissa. Ini sudah berakhir." ujarku masih terengah-engah.

"Apa kau baik-baik saja, Andrew?"

"Ya, aku rasa begitu."

"Sebaiknya kau melepaskan pisau itu. Kau terlihat mengerikan memegangnya." Aku tidak ingin membuatnya takut. Ku letakkan pisau itu di meja bar.

"Tapi aku heran dengan kejadian sebelum-sebelumnya dan sekarang. Di kejadian pertama, kau memohon pertolonganku, di kejadian yang kedua kau memohon kepadaku untuk tidak menyebutkan dimana ganja itu. Dan sekarang, kau meminta lagi supaya aku menyebutkan dimana ganja itu."

"Apa maksudmu, Andrew? Aku tidak paham." Clarissa terlihat bingung. Mungkin memang hanya aku yang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

"Lupakan saja. Sebaiknya kita pulang." aku memeluk Clarissa lagi dan mencium keningnya. Kemudian bersiap-siap untuk pergi dari sana.

"Memangnya kau menyimpan ganja itu dimana, Andrew?"

"Tasku. Aku berencana akan menjualnya kepada seseorang yang sangat berpengaruh di Jakarta Selatan."

Aktifitasku berhenti. Aku merasakan ada yang menancap di punggungku dan kemudian dicabut kembali. Aku menengok ke belakang dan leherku langsung digorok. Aku tersungkur jatuh menatap Clarissa memegang pisau itu.

"Sudah kubilang Andrew, seharusnya kau beritahu dimana ganja itu."

Mataku terpejam dan nyawaku hilang lagi untuk ketiga kalinya.


***

Aku terbangun lagi. Kali ini keadaannya sedikit berbeda. Hanya ada aku dan Clarissa. Tanganku terikat dan Clarissa yang memegang pisaunya.

"Katakan Andrew, dimana ganja itu?"


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com