“Eh itu bangku impian...”,
seru Damian sambil berlari ke arah bangku tersebut dan bertepatan saat dia
mendudukinya, James pun juga menduduki bangku itu.
“James, gue udah duluan
duduk di bangku ini, lo mending cari bangku yang lain aja”
“Sorry bro, gue yang lebih dulu duduk disini, jadi mending lo aja
yang cari bangku lain”
“Lo ngajak ribut sama gue?
Jelas-jelas dari tadi tuh gue yang sampai ke sini duluan bukan lo”
Keributan terjadi di kelas. Perkelahian antara Damian dan James menjadi kegiatan pembuka di hari pertama kami memasuki kelas ini.
“Semuanya diam!!!”
Suara keras menggema dari
ujung pintu mengheningkan suasana kelas, seorang wanita paruh baya nan cantik
jelita berjalan menuju meja guru. Semua murid bersegera duduk ke tempat duduk
secara acak dan Damian beserta James duduk di bangku impian.
“Saya tahu rumor itu sudah
berkembang cukup lama di sekolah ini, dan saya sangat mengerti apa yang kalian
ributkan disini. Saya Prof. Sania Ahbidab, wali kelas XII.1. Kalian bisa
memanggil saya bu San. Saya akan membuat suatu kompetisi untuk memperebutkan
bangku impian itu dan kompetisi ini berlaku untuk semua murid yang ada di kelas
ini”
Semua terdiam. Hening.
Sesekali kami saling menatap kepada yang lain sambil berbisik-bisik, mengenai
perkataan bu San.
“Siapapun yang memenangkan
kompetisi ini selain bisa menduduki bangku itu selama satu tahun pelajaran,
juga akan saya berikan nilai tambahan untuk ujian akhir geografi”
‘Apa? Nilai tambahan untuk
ujian akhir geografi? Ini kan baru awal tahun pelajaran’, semua membisikan
kalimat itu kepada satu sama lain. Hadiah yang sangat menarik. Siapa yang tidak
mau mendapatkan nilai tambahan untuk ujian akhir yang pelajarannya dimulai saja
belum. Apalagi bisa menduduki bangku impian itu selama satu tahun pelajaran
penuh.
“Kompetisinya mudah. Kalian
harus menebak teka-teki dari saya dan saya akan memberikan waktu selama
seminggu untuk menjawabnya. Jika setelah seminggu tidak ada yang bisa menjawab
teka-teki ini dengan benar, maka bangku itu tidak akan ada yang boleh
menempatinya selama satu tahun pelajaran.”
Bu San kemudian berjalan
menuju papan tulis dan mulai menuliskan sesuatu
“Apakah
aku? Ketika benang putih terpisah dari benang hitam, si bodoh datang
menghampiri ku dan ketika sang raja mulai mengantuk, si pintar pergi
meninggalkan ku. Aku mempunyai pasangan. Tanpa pasangan ku, aku akan sulit
dipakai si pintar untuk berkarya dan tanpa aku, pasangan ku tidak akan berarti
untuk si bodoh. Aku menjadi yang diperhatikan, maka perhatikanlah aku. Siapapun
yang mengenal ku akan ku bantu untuk membuat mimpinya menjadi nyata.”
“Catatlah ini baik-baik.
Jika ada yang sudah tahu jawabannya, silakan datang ke ruang guru untuk menemui
saya dan ungkapkan jawabannya disana”
Setelah bu San menulis
demikian, semua mencatatnya dan mulai memikirkan jawabannya. Tidak hanya
Damian, James, dan anak-anak yang lain, aku pun juga ingin menduduki bangku
itu. Berhari-hari aku memikirkan jawabannya, namun sangatlah sulit untuk
mendapatkan jawabannya. Satu per satu anak-anak di kelas ini sudah mencoba
menjawabnya, tapi belum ada satu pun yang menjawabnya dengan benar. Kecuali
Damian dan James. Mereka sangat berhati-hati dalam memikirkan jawaban ini.
Pernah suatu kali saat pulang sekolah aku melihat James duduk di bangku impian
sendirian, memperhatikan bangku itu, kemudian menatap ke depan. Entah mengapa,
tiba-tiba dia begitu girang, namun tak lama kemudian wajahnya berubah seperti
mendapat kejutan. Aku sangat penasaran dan menghampirinya.
“James”
“Eh Kirana...”, ucapnya
terkejut
“Lo kenapa melongo gitu?”
“Oh gak apa-apa. Gue udah tahu
jawaban dari teka-teki bu San”
“Oh ya? Apa tuh?”
“Nanti bakal gue jelasin di
hadapan semua anak-anak dan bu San”
James tersenyum. Senyumannya
seperti seorang filsuf yang mendapatkan filsafat-filsafat baru. Begitu tenang
dan dalam. Tidak ada lagi wajah menggebu-gebu pada dirinya seperti
sebelum-sebelumnya. Keesokan harinya bu San memanggil Damian dan James untuk
menjelaskan jawaban yang mereka dapatkan, tapi bukan dijelaskan di ruang guru
melainkan di depan kelas atas permintaan James.
“Oke, dimulai dari Damian.
Silakan kamu jelaskan jawaban mu”
Dengan penuh percaya diri
Damian memaparkan jawabannya.
“Apakah aku? Ketika benang putih terpisah dari benang hitam, si bodoh
datang menghampiri ku dan ketika sang raja mulai mengantuk, si pintar pergi
meninggalkan ku. Benang putih terpisah dari benang hitam artinya matahari
yang mulai terbit yang menandakan pagi hari, si bodoh datang menghampiri ku
artinya orang yang belum punya pengetahuan datang menghampirinya, ketika sang
raja mulai mengantuk menandakan yang berkuasa, jika konteksnya masih soal waktu
artinya yang menguasai hari yaitu matahari dan mulai mengantuk adalah waktu
dimana matahari mulai turun yaitu waktu pertengahan antara siang hari menuju
sore hari, si pintar pergi meninggalkan ku artinya yang berpengetahuan pergi
meninggalkannya. Jadi satu kalimat ini memperumpamakan murid baru yang
bersekolah dan pulang dengan pengetahuan dari sekolah.”
“Aku mempunyai pasangan. Tanpa pasangan ku, aku akan sulit dipakai si
pintar untuk berkarya dan tanpa aku, pasangan ku tidak akan berarti untuk si
bodoh. Aku menjadi yang diperhatikan,
maka perhatikanlah aku. Siapapun yang mengenal ku akan ku bantu untuk membuat
mimpinya menjadi nyata. Dan dari kalimat-kalimat terakhir ini sudah jelas
bahwa benda yang dimaksud pasti bangku impian. Bangku impian berpasangan dengan
mejanya, tentu tanpa meja dengan hanya bangku saja murid akan kesulitan untuk
menulis dan tanpa bangku hanya dengan meja saja tidak akan bermanfaat bagi
murid. Bangku impian juga menjadi perhatian bagi siapapun di sekolah ini dan dia
bisa mewujudkan impian siapa saja yang dapat mendudukinya selama setahun.”
Penjelesan Damian diakhiri
dengan tepuk tangan satu kelas. Sambil melemparkan senyum bangganya, Damian
membungkukkan badan sebagai tanda hormat kepada kami seperti seorang dirigen
yang memberikan salam terima kasih di akhir pertunjukan.
“Bagus Damian, tapi
penjelasan mu kurang tepat. Dan jawaban mu salah”
Seketika setelah bu San
menanggapi penjelasannya, semua murid terdiam dan terkejut termasuk Damian.
“Karena jawabannya adalah
papan tulis”, sahut James tiba-tiba
“Aku mempunyai pasangan. Tanpa pasangan ku, aku akan sulit dipakai si
pintar untuk berkarya dan tanpa aku, pasangan ku tidak akan berarti untuk si
bodoh. Aku menjadi yang diperhatikan, maka perhatikanlah aku. Siapapun yang
mengenal ku akan ku bantu untuk membuat mimpinya menjadi nyata. Pasangan
tidak selalu harus bangku dan meja, bisa juga papan tulis dengan spidolnya.
Hanya dengan papan tulis tanpa spidol murid akan sulit menuliskan jawaban di
papan itu jika seorang guru memintanya menuliskan jawabannya, hanya spidol
tanpa papan tulis tentu tidak akan ada gunanya bagi murid yang mau mengerti
pelajaran. Papan tulis selalu menjadi perhatian di kelas ini, setiap pelajaran
pasti menggunakan papan tulis. Jika kalian memahami apa yang ditulis di papan
itu pada setiap pelajarannya, kalian pasti bisa menjawab soal-soal dalam ujian,
jika ujian kalian menjadi bagus, kalian bisa meraih cita-cita kalian”
“Well done, James. Jawaban mu benar”, ucap bu San dengan tersenyum
“Kamu berhak menempati
bangku itu dan mendapatkan nilai tambahan pada ujian akhir geografi”
“Terima kasih, bu. Tapi saya
rasa saya gak ingin duduk disana lagi. Saya tadinya berpikir kalau bangku ini
lah yang membuat setiap yang mendudukinya bisa meraih cita-citanya. Ternyata
saya salah. Siapapun yang duduk disini pasti akan terus menatap papan tulis
karena letak bangkunya paling depan dan berada di tengah, sehingga mau gak mau
yang selalu diperhatikan pasti papan tulis dan itulah yang membuat siapapun
yang duduk disini jadi pintar, karena dia belajar. Jadi yang perlu saya lakukan
adalah belajar, bukan mempercayai mitos ini”
Bu San berdiri dan memberikan
tepuk tangan untuk James dan bak magnet yang menarik paku-paku berserakan,
dengan serentak semua murid ikut-ikutan berdiri bertepuk tangan untuk James.
Pada akhirnya bangku ini memang tidak ada yang menempati, tapi sudah menjadi
sejarah yang terungkap mengapa bangku ini selalu menjadi impian semua orang.