Aku tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaanku. “aku
tidak mau mati” ujarku. Ya disaat itulah dia menodongkan pisau ke leherku
sambil menangis-nangis.
“Jika aku bisa memilikimu, mungkin tidak akan seperti ini
jadinya.” Dia terus saja menangis, tapi tangannya tidak lepas dari pisau itu.
“Kumohon, jangan bunuh aku” pintaku memelas. Pria itu memang
sudah gila. Tapi mungkin kegilaan ini tidak akan ada jika aku memang tidak
seusil itu masuk dalam kehidupannya.
“Aku mencintaimu dengan sangat. Mengapa kamu mau memutuskan
hubungan kita? Apa salahku?”
“Aku tidak mencintaimu Larry. Aku hanya ingin dekat
denganmu. Itu saja. Aku rasa kita telah salah paham. Kita bisa bicarakan
baik-baik kan?” Aku mencoba mencari kata-kata yang bagus untuk membujuknya, namun
usahaku sia-sia.
“Kenapa kamu tega berbuat seperti ini kepadaku? Kenapa?”
teriaknya semakin menjadi-jadi. Jantungku berdebar kencang, pria ini semakin
gila. Jika aku tidak berbuat sesuatu, dia benar-benar akan menyembelihku.
Aku mencoba meraih payung yang ada di sebelah kananku,
sayangnya tindak-tandukku telah diketahui olehnya lebih dulu.
“Mau apa kau, dasar pelacur!” Larry menusukkan pisaunya ke
jantungku. Aku terjatuh dan menahan kesakitan.
“Terimalah hadiah terakhirku untukmu, ini dari hatiku yang
paling dalam” aku menatapnya tidak percaya. Tapi disaat itu juga nafasku mulai
melemah.
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar