Kepalaku
masing pening. Aku terduduk di sebuah kursi dengan tanganku terikat di
belakang. Aku mencoba membuka mata dan melihat ke depan. Seorang pria berkulit
putih dengan baju pantai tersenyum kepadaku.
“Bagaimana
mimpimu?”
Aku
masih mencoba mengingat apa yang terjadi dan siapa pria ini.
“Obatnya
terlalu keras ya? Jangan terlalu di paksa, aku akan membantumu mengingat apa
yang sudah kau lakukan.”
Pria
itu berjalan mengambil sebuah pisau besar dan duduk di depanku. Sementara Clarissa
juga terduduk di sampingnya sambil menangis.
“Apa
maumu? Lepaskan perempuan itu. Dia tidak ada hubungannya dengan apa yang sudah
kulakukan.”
“Ssshhhtt…
jangan berkata dusta, tentu saja perempuan ini ada hubungannya dengan apa yang
sudah kau lakukan. Perempuan ini menemanimu saat makan malam di kafe depan
gang rumahmu. Tepat disaat yang sama aku menangkapmu. Jika dia tidak
menemanimu, tentu dia tidak ada urusannya dengan hal ini.”
“Brengsek
kau! Lepaskan dia!”
“Hey,
tenanglah. Tenang. Semuanya akan baik-baik saja, jika kau memberitahuku dimana
ganja seberat 10 kilogram itu kau simpan.”
Aku
terdiam. Mencoba mencerna maksud dari pria yang ada di hadapanku ini.
“Aku
tidak tahu.”
“Ckckck…
kita tidak sedang berada di sebuah scene
film, anak muda. Jangan bertingkah seperti pahlawan kesiangan atau kau akan
menyesal.”
“Aku
sungguh tidak tahu apa yang kau maksud. Ganja apa? Kapan aku mengambilnya?”
“Baiklah.
Karena aku tidak suka basa-basi, kita langsung saja.”
Pria
itu berjalan menuju Clarissa dan mengarahkan pisau besar itu ke lehernya.
"Tidak! Jangan bunuh aku. Andrew, tolong aku." Clarissa menangis kencang. Tubuhnya meronta-ronta dan gemetar, sangat terlihat ketakutan menyelimutinya.
"Tidak! Jangan bunuh aku. Andrew, tolong aku." Clarissa menangis kencang. Tubuhnya meronta-ronta dan gemetar, sangat terlihat ketakutan menyelimutinya.
“Hey!
Hey! Hey! Aku tidak bohong. Aku tidak tahu maksudmu.”
"Andrew, aku mohon beritahu saja dimana ganja itu."
"Aku sungguh tidak tahu dimana ganja itu, Clarissa."
"Andrew, aku mohon beritahu saja dimana ganja itu."
"Aku sungguh tidak tahu dimana ganja itu, Clarissa."
“Rupanya
kau lebih serakah dari yang ku kira.”
Pria
itu menggorok leher Clarissa tepat di depan mataku. Darahnya menyembur kemana-mana dan matanya terbelalak menatapku, seakan-akan masih memohon pertolongan kepadaku. Aku menangis, menyesali apa yang sudah kuperbuat.
“Aku
sudah bilangkan kalau kita tidak sedang berada di scene film. Dan setelah kekasihmu ini mati berikutnya adalah kamu
sendiri.”
“Apa?
Tidak! Aku tidak ta…”
Pisau itu menikam jantungku. Aku merasakan
aliran darah langsung mengucur dari dadaku. Ia menarik pisau itu dan menancapkannya lagi berulang-ulang ke dadaku. Hingga terakhir
ia menggorok leherku. Kesadaranku hilang, rasa sakit itu menghantamku seiring
dengan luka yang dibuatnya. Dan seketika itu juga nafasku menghilang.
***
Aku terbangun. Menarik nafas sebanyak-banyaknya yang ku bisa. Melihat ke depan dan keadaan sekeliling.
“Ini
tidak masuk akal.” ujarku bingung.
Aku
masih terduduk di sebuah kursi dengan tangan terikat di belakang. Clarissa
masih hidup dan menangis. Tempat duduknya pun tidak berubah, masih di samping pria
itu.
“Tidak
masuk akal? Rupanya obatnya terlalu keras untukmu.”
Aku
masih melihatnya lagi. Dia masih di depanku.
“Ok.
Aku akan membuatnya menjadi masuk akal. Semuanya akan baik-baik saja, jika kau
memberitahuku dimana ganja seberat 10 kilogram itu kau simpan.”
Pria
itu berjalan mengambil sebuah pisau besar dan duduk di depanku. Kejadian yang
sama, keadaan yang sama.
“Apa
yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku dan Clarissa masih hidup? Bukankah kau
baru saja membunuh kami?”
“Aku?”
pria itu memandangku dan menoleh ke belakang. Seakan-akan dia sedang mencari
orang lain yang aku tuduh. “Aku pasti akan membunuhmu jika kau berlaku sebagai
pahlawan kesiangan dan asal kau tahu kita tidak sedang berada di scene sebuah film.”
“Ya,
aku tahu kau akan berkata seperti itu.”
“Bagus
kalau begitu. Berarti kau sudah siap memberikan jawabannya kepadaku.”
Aku
terdiam. Memikirkan apa yang harus aku lakukan. Mengapa kejadian ini terulang
dan aku masih hidup.
“Anak
muda, dimana ganja itu?”
"Jangan katakan dimana ganja itu, Andrew." Clarissa tiba-tiba berbicara
"Dan membiarkan kau mati? Tidak, aku tidak sanggup melihatmu mati untuk yang kedua kalinya Clarissa."
"Jadi?" pria itu bertanya lagi. Aku masih tidak tahu harus menjawab apa.
"Jangan katakan dimana ganja itu, Andrew." Clarissa tiba-tiba berbicara
"Dan membiarkan kau mati? Tidak, aku tidak sanggup melihatmu mati untuk yang kedua kalinya Clarissa."
"Jadi?" pria itu bertanya lagi. Aku masih tidak tahu harus menjawab apa.
“Baiklah
kalau begitu.” katanya lagi. Ia berdiri dan bersiap untuk membunuh
Clarissa untuk yang kedua kalinya.
“Tunggu!
Tunggu! Aku tahu dimana ganja itu.”
"Andrew, jangan!" Clarissa berteriak mencegahku, namun aku tak mengacuhkannya.
"Andrew, jangan!" Clarissa berteriak mencegahku, namun aku tak mengacuhkannya.
Pria
itu berjalan ke arahku.
“Bagus,
seharusnya kau tidak perlu membuatku menunggu.”
“Ehm…
ganja… Ehm… ganja itu ada di tasku.”
Pria
itu menatapku lekat-lekat. Mencari kebenaran seakan-akan aku telah berbohong.
“Sungguh,
aku tidak berbohong. Kau bisa memeriksa langsung tasku dan kau akan
menemukannya.”
Pria
itu mengambil tas yang ada di sampingku dan merogoh-rogohnya. Sebuah kotak susu
di lapisi kantong plastik dikeluarkannya dari tas itu. Dia mengendus-endus dan
membuka lapisan plastik dan kotaknya.
“Baiklah,
anak muda. Kurasa kau memang tidak berbohong. Aku tahu kau pasti akan lebih
mementingkan kekasihmu daripada ganja ini.”
Pria
itu tertawa dan menepuk-nepuk pipiku. Dia menaruh lagi ganja itu ke dalam tasku
dan meletakan tas itu di meja bar yang berada tidak jauh dari Clarissa.
“Urusan
kita sudah selesai, bukan?” tanyaku memastikan.
“Tentu
saja.” jawabnya ringan.
“Kalau
begitu, lepaskan Clarissa.”
“Pasti.”
Pria
itu berjalan ke arah Clarissa. Sekali lagi, dia membuatku memperhatikan tingkah
laku sadisnya. Dia menggorok leher Clarissa untuk yang kedua kalinya. Paling tidak,
di ingatanku hal itu terjadi sebanyak dua kali.
“Aku
melepaskan kekasihmu dari bebannya seumur hidup yang harus ditanggungnya akibat
melihat peristiwa hari ini.”
“Apa?
Tidak! Kau mengulangnya lagi.”
Pria
itu kemudian menghampiriku.
“Dan
tentu saja, aku juga akan melepaskanmu dari ingatan yang mengerikan ini.”
Lagi, dia menikamku persis di
jantungku, berkali-kali. Untuk kedua kalinya aku merasakan rasa sakit yang
berulang-ulang dan kesadaranku langsung hilang.
Aku terbangun. Keadaan ini masih sama. Pria berkulit putih yang memakai baju pantai, Clarissa, dan aku yang terikat.
***
Aku terbangun. Keadaan ini masih sama. Pria berkulit putih yang memakai baju pantai, Clarissa, dan aku yang terikat.
“Apa
kejadian ini tidak akan pernah berakhir?” tanyaku heran.
“Tentu
saja akan berakhir jika…”
“Jika
aku mengatakan dimana ganja seberat 10 kilogram itu aku simpan. Iya kan?”
“Aku
suka gayamu anak muda. Langsung menuju ke pusat permasalahan. Kalau begitu waktuku
tidak akan terbuang sia-sia.” Ia tersenyum gembira.
“Mengatakan
atau tidak mengatakan. Kau tetap akan membunuhku dan Clarissa. Aku sudah
melihatnya dua kali.”
Pria
itu memandangku heran seakan-akan aku sedang meracaukan hal yang tidak jelas.
“Tidak,
obat itu tidak keras dan aku tidak sedang dalam pengaruh obat. Dan aku sangat
sadar dengan apa yang kukatakan.”
“Baiklah,
jadi dimana kau simpan ganja itu?”
Kali
ini aku memutar otakku dengan keras. Mencari tahu bagaimana caranya agar aku
bisa lepas dari lingkaran setan ini. Aku tidak bisa mati dan hidup
berulang-ulang sambil menyaksikan Clarissa berkali-kali dibunuh oleh pria gila
ini.
“Anak
muda?”
"Andrew, katakan saja dimana ganja itu." ujar Clarissa.
"Tenang Clarissa, kita akan baik-baik saja. Aku tahu apa yang harus aku lakukan."
"Aku masih menunggu, anak muda."
"Andrew, katakan saja dimana ganja itu." ujar Clarissa.
"Tenang Clarissa, kita akan baik-baik saja. Aku tahu apa yang harus aku lakukan."
"Aku masih menunggu, anak muda."
“Kau
tidak menginginkan ganja itu, bukan?”
“Apa?”
“Mendapatkannya
atau tidak mendapatkannya, kau tetap akan membunuhku. Itu yang kau inginkan. Membunuh.”
Pria
itu terdiam.
“Sementara,
baik aku memilih ganja ataupun nyawa kekasihku, aku tidak akan mendapatkan
apa-apa.”
“Apa
maksudmu?”
“Aku
ingin mengakhiri semua ini.”
Aku
berusaha bangkit berdiri dengan kursi yang masih menempel denganku dan tangan
yang terikat. Aku menabrakan diriku ke dinding hingga kursinya hancur. Aku berlari
ke arah meja dan mengambil pisau besar itu.
“Hey!
Apa yang kau lakukan?”
“Jangan
mendekat! Aku memegang pisau ini dan bisa sewaktu-waktu membunuh diriku
sendiri.”
“Apa
kau sudah gila?”
“Mungkin.
Tapi aku tidak punya cara lain untuk mengakhiri ini semua.”
Kulepaskan
ikatan tanganku dengan pisau tersebut dan hendak menusukkan pisau itu ke dadaku. Tapi kemudian aku terdiam sejenak.
"Anak muda, berikan pisau itu kepadaku. Jangan berbuat sesuatu yang kau akan menyesalinya."
"Kenapa aku harus membunuh diriku sendiri jika ketika aku bangun, aku tetap akan melihatmu dan Clarissa dengan keadaan yang sama?"
"Baiklah, serahkan pisau itu kepadaku."
"Tentu saja."
Aku menyerangnya dan menikam dadanya. Ia berusaha melawan namun ku hajar wajahnya hingga tubuhnya jatuh tersungkur. Aku menarik pisau itu dari dadanya dan menusuknya lagi berulang-ulang. Sama seperti yang ia lakukan padaku sebelumnya. Dan kemudian ku akhiri nyawanya dengan menggorok lehernya. Aku melepaskan ikatan di tangan Clarissa dan ia memelukku.
"Tenanglah, Clarissa. Ini sudah berakhir." ujarku masih terengah-engah.
"Apa kau baik-baik saja, Andrew?"
"Apa kau baik-baik saja, Andrew?"
"Ya, aku rasa begitu."
"Sebaiknya kau melepaskan pisau itu. Kau terlihat mengerikan memegangnya." Aku tidak ingin membuatnya takut. Ku letakkan pisau itu di meja bar.
"Tapi aku heran dengan kejadian sebelum-sebelumnya dan sekarang. Di kejadian pertama, kau memohon pertolonganku, di kejadian yang kedua kau memohon kepadaku untuk tidak menyebutkan dimana ganja itu. Dan sekarang, kau meminta lagi supaya aku menyebutkan dimana ganja itu."
"Apa maksudmu, Andrew? Aku tidak paham." Clarissa terlihat bingung. Mungkin memang hanya aku yang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
"Lupakan saja. Sebaiknya kita pulang." aku memeluk Clarissa lagi dan mencium keningnya. Kemudian bersiap-siap untuk pergi dari sana.
"Memangnya kau menyimpan ganja itu dimana, Andrew?"
"Tasku. Aku berencana akan menjualnya kepada seseorang yang sangat berpengaruh di Jakarta Selatan."
Aktifitasku berhenti. Aku merasakan ada yang menancap di punggungku dan kemudian dicabut kembali. Aku menengok ke belakang dan leherku langsung digorok. Aku tersungkur jatuh menatap Clarissa memegang pisau itu.
"Sudah kubilang Andrew, seharusnya kau beritahu dimana ganja itu."
Mataku terpejam dan nyawaku hilang lagi untuk ketiga kalinya.
Aku terbangun lagi. Kali ini keadaannya sedikit berbeda. Hanya ada aku dan Clarissa. Tanganku terikat dan Clarissa yang memegang pisaunya.
"Katakan Andrew, dimana ganja itu?"
"Sebaiknya kau melepaskan pisau itu. Kau terlihat mengerikan memegangnya." Aku tidak ingin membuatnya takut. Ku letakkan pisau itu di meja bar.
"Tapi aku heran dengan kejadian sebelum-sebelumnya dan sekarang. Di kejadian pertama, kau memohon pertolonganku, di kejadian yang kedua kau memohon kepadaku untuk tidak menyebutkan dimana ganja itu. Dan sekarang, kau meminta lagi supaya aku menyebutkan dimana ganja itu."
"Apa maksudmu, Andrew? Aku tidak paham." Clarissa terlihat bingung. Mungkin memang hanya aku yang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
"Lupakan saja. Sebaiknya kita pulang." aku memeluk Clarissa lagi dan mencium keningnya. Kemudian bersiap-siap untuk pergi dari sana.
"Memangnya kau menyimpan ganja itu dimana, Andrew?"
"Tasku. Aku berencana akan menjualnya kepada seseorang yang sangat berpengaruh di Jakarta Selatan."
Aktifitasku berhenti. Aku merasakan ada yang menancap di punggungku dan kemudian dicabut kembali. Aku menengok ke belakang dan leherku langsung digorok. Aku tersungkur jatuh menatap Clarissa memegang pisau itu.
"Sudah kubilang Andrew, seharusnya kau beritahu dimana ganja itu."
Mataku terpejam dan nyawaku hilang lagi untuk ketiga kalinya.
***
"Katakan Andrew, dimana ganja itu?"
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com