Minggu, 22 November 2015

Lingkaran Setan

Kepalaku masing pening. Aku terduduk di sebuah kursi dengan tanganku terikat di belakang. Aku mencoba membuka mata dan melihat ke depan. Seorang pria berkulit putih dengan baju pantai tersenyum kepadaku.

“Bagaimana mimpimu?”

Aku masih mencoba mengingat apa yang terjadi dan siapa pria ini.

“Obatnya terlalu keras ya? Jangan terlalu di paksa, aku akan membantumu mengingat apa yang sudah kau lakukan.”

Pria itu berjalan mengambil sebuah pisau besar dan duduk di depanku. Sementara Clarissa juga terduduk di sampingnya sambil menangis.

“Apa maumu? Lepaskan perempuan itu. Dia tidak ada hubungannya dengan apa yang sudah kulakukan.”

“Ssshhhtt… jangan berkata dusta, tentu saja perempuan ini ada hubungannya dengan apa yang sudah kau lakukan. Perempuan ini menemanimu saat makan malam di kafe depan gang rumahmu. Tepat disaat yang sama aku menangkapmu. Jika dia tidak menemanimu, tentu dia tidak ada urusannya dengan hal ini.”

“Brengsek kau! Lepaskan dia!”

“Hey, tenanglah. Tenang. Semuanya akan baik-baik saja, jika kau memberitahuku dimana ganja seberat 10 kilogram itu kau simpan.”

Aku terdiam. Mencoba mencerna maksud dari pria yang ada di hadapanku ini.

“Aku tidak tahu.”

“Ckckck… kita tidak sedang berada di sebuah scene film, anak muda. Jangan bertingkah seperti pahlawan kesiangan atau kau akan menyesal.”

“Aku sungguh tidak tahu apa yang kau maksud. Ganja apa? Kapan aku mengambilnya?”

“Baiklah. Karena aku tidak suka basa-basi, kita langsung saja.”

Pria itu berjalan menuju Clarissa dan mengarahkan pisau besar itu ke lehernya.

"Tidak! Jangan bunuh aku. Andrew, tolong aku." Clarissa menangis kencang. Tubuhnya meronta-ronta dan gemetar, sangat terlihat ketakutan menyelimutinya.

“Hey! Hey! Hey! Aku tidak bohong. Aku tidak tahu maksudmu.”

"Andrew, aku mohon beritahu saja dimana ganja itu."

"Aku sungguh tidak tahu dimana ganja itu, Clarissa."

“Rupanya kau lebih serakah dari yang ku kira.”

Pria itu menggorok leher Clarissa tepat di depan mataku. Darahnya menyembur kemana-mana dan matanya terbelalak menatapku, seakan-akan masih memohon pertolongan kepadaku. Aku menangis, menyesali apa yang sudah kuperbuat.

“Aku sudah bilangkan kalau kita tidak sedang berada di scene film. Dan setelah kekasihmu ini mati berikutnya adalah kamu sendiri.”

“Apa? Tidak! Aku tidak ta…”

Pisau itu menikam jantungku. Aku merasakan aliran darah langsung mengucur dari dadaku. Ia menarik pisau itu dan menancapkannya lagi berulang-ulang ke dadaku. Hingga terakhir ia menggorok leherku. Kesadaranku hilang, rasa sakit itu menghantamku seiring dengan luka yang dibuatnya. Dan seketika itu juga nafasku menghilang.


***

Aku terbangun. Menarik nafas sebanyak-banyaknya yang ku bisa. Melihat ke depan dan keadaan sekeliling.

“Ini tidak masuk akal.” ujarku bingung.

Aku masih terduduk di sebuah kursi dengan tangan terikat di belakang. Clarissa masih hidup dan menangis. Tempat duduknya pun tidak berubah, masih di samping pria itu.

“Tidak masuk akal? Rupanya obatnya terlalu keras untukmu.”

Aku masih melihatnya lagi. Dia masih di depanku.

“Ok. Aku akan membuatnya menjadi masuk akal. Semuanya akan baik-baik saja, jika kau memberitahuku dimana ganja seberat 10 kilogram itu kau simpan.”

Pria itu berjalan mengambil sebuah pisau besar dan duduk di depanku. Kejadian yang sama, keadaan yang sama.

“Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku dan Clarissa masih hidup? Bukankah kau baru saja membunuh kami?”

“Aku?” pria itu memandangku dan menoleh ke belakang. Seakan-akan dia sedang mencari orang lain yang aku tuduh. “Aku pasti akan membunuhmu jika kau berlaku sebagai pahlawan kesiangan dan asal kau tahu kita tidak sedang berada di scene sebuah film.

“Ya, aku tahu kau akan berkata seperti itu.”

“Bagus kalau begitu. Berarti kau sudah siap memberikan jawabannya kepadaku.”

Aku terdiam. Memikirkan apa yang harus aku lakukan. Mengapa kejadian ini terulang dan aku masih hidup.

“Anak muda, dimana ganja itu?”

"Jangan katakan dimana ganja itu, Andrew." Clarissa tiba-tiba berbicara

"Dan membiarkan kau mati? Tidak, aku tidak sanggup melihatmu mati untuk yang kedua kalinya Clarissa."

"Jadi?" pria itu bertanya lagi. Aku masih tidak tahu harus menjawab apa.

“Baiklah kalau begitu.” katanya lagi. Ia berdiri dan bersiap untuk membunuh Clarissa untuk yang kedua kalinya.

“Tunggu! Tunggu! Aku tahu dimana ganja itu.”

"Andrew, jangan!" Clarissa berteriak mencegahku, namun aku tak mengacuhkannya.

Pria itu berjalan ke arahku.

“Bagus, seharusnya kau tidak perlu membuatku menunggu.”

“Ehm… ganja… Ehm… ganja itu ada di tasku.”

Pria itu menatapku lekat-lekat. Mencari kebenaran seakan-akan aku telah berbohong.

“Sungguh, aku tidak berbohong. Kau bisa memeriksa langsung tasku dan kau akan menemukannya.”

Pria itu mengambil tas yang ada di sampingku dan merogoh-rogohnya. Sebuah kotak susu di lapisi kantong plastik dikeluarkannya dari tas itu. Dia mengendus-endus dan membuka lapisan plastik dan kotaknya.

“Baiklah, anak muda. Kurasa kau memang tidak berbohong. Aku tahu kau pasti akan lebih mementingkan kekasihmu daripada ganja ini.”

Pria itu tertawa dan menepuk-nepuk pipiku. Dia menaruh lagi ganja itu ke dalam tasku dan meletakan tas itu di meja bar yang berada tidak jauh dari Clarissa.

“Urusan kita sudah selesai, bukan?” tanyaku memastikan.

“Tentu saja.” jawabnya ringan.

“Kalau begitu, lepaskan Clarissa.”

“Pasti.”

Pria itu berjalan ke arah Clarissa. Sekali lagi, dia membuatku memperhatikan tingkah laku sadisnya. Dia menggorok leher Clarissa untuk yang kedua kalinya. Paling tidak, di ingatanku hal itu terjadi sebanyak dua kali.

“Aku melepaskan kekasihmu dari bebannya seumur hidup yang harus ditanggungnya akibat melihat peristiwa hari ini.”

“Apa? Tidak! Kau mengulangnya lagi.”

Pria itu kemudian menghampiriku.

“Dan tentu saja, aku juga akan melepaskanmu dari ingatan yang mengerikan ini.”

Lagi, dia menikamku persis di jantungku, berkali-kali. Untuk kedua kalinya aku merasakan rasa sakit yang berulang-ulang dan kesadaranku langsung hilang.


***

Aku terbangun. Keadaan ini masih sama. Pria berkulit putih yang memakai baju pantai, Clarissa, dan aku yang terikat.

“Apa kejadian ini tidak akan pernah berakhir?” tanyaku heran.

“Tentu saja akan berakhir jika…”

“Jika aku mengatakan dimana ganja seberat 10 kilogram itu aku simpan. Iya kan?”

“Aku suka gayamu anak muda. Langsung menuju ke pusat permasalahan. Kalau begitu waktuku tidak akan terbuang sia-sia.” Ia tersenyum gembira.

“Mengatakan atau tidak mengatakan. Kau tetap akan membunuhku dan Clarissa. Aku sudah melihatnya dua kali.”

Pria itu memandangku heran seakan-akan aku sedang meracaukan hal yang tidak jelas.

“Tidak, obat itu tidak keras dan aku tidak sedang dalam pengaruh obat. Dan aku sangat sadar dengan apa yang kukatakan.”

“Baiklah, jadi dimana kau simpan ganja itu?”

Kali ini aku memutar otakku dengan keras. Mencari tahu bagaimana caranya agar aku bisa lepas dari lingkaran setan ini. Aku tidak bisa mati dan hidup berulang-ulang sambil menyaksikan Clarissa berkali-kali dibunuh oleh pria gila ini.

“Anak muda?”

"Andrew, katakan saja dimana ganja itu." ujar Clarissa.

"Tenang Clarissa, kita akan baik-baik saja. Aku tahu apa yang harus aku lakukan."

"Aku masih menunggu, anak muda."

“Kau tidak menginginkan ganja itu, bukan?”

“Apa?”

“Mendapatkannya atau tidak mendapatkannya, kau tetap akan membunuhku. Itu yang kau inginkan. Membunuh.”

Pria itu terdiam.

“Sementara, baik aku memilih ganja ataupun nyawa kekasihku, aku tidak akan mendapatkan apa-apa.”

“Apa maksudmu?”

“Aku ingin mengakhiri semua ini.”

Aku berusaha bangkit berdiri dengan kursi yang masih menempel denganku dan tangan yang terikat. Aku menabrakan diriku ke dinding hingga kursinya hancur. Aku berlari ke arah meja dan mengambil pisau besar itu.

“Hey! Apa yang kau lakukan?”

“Jangan mendekat! Aku memegang pisau ini dan bisa sewaktu-waktu membunuh diriku sendiri.”

“Apa kau sudah gila?”

“Mungkin. Tapi aku tidak punya cara lain untuk mengakhiri ini semua.”

Kulepaskan ikatan tanganku dengan pisau tersebut dan hendak menusukkan pisau itu ke dadaku. Tapi kemudian aku terdiam sejenak.

"Anak muda, berikan pisau itu kepadaku. Jangan berbuat sesuatu yang kau akan menyesalinya."

"Kenapa aku harus membunuh diriku sendiri jika ketika aku bangun, aku tetap akan melihatmu dan Clarissa dengan keadaan yang sama?"

"Baiklah, serahkan pisau itu kepadaku."

"Tentu saja."

Aku menyerangnya dan menikam dadanya. Ia berusaha melawan namun ku hajar wajahnya hingga tubuhnya jatuh tersungkur. Aku menarik pisau itu dari dadanya dan menusuknya lagi berulang-ulang. Sama seperti yang ia lakukan padaku sebelumnya. Dan kemudian ku akhiri nyawanya dengan menggorok lehernya. Aku melepaskan ikatan di tangan Clarissa dan ia memelukku.

"Tenanglah, Clarissa. Ini sudah berakhir." ujarku masih terengah-engah.

"Apa kau baik-baik saja, Andrew?"

"Ya, aku rasa begitu."

"Sebaiknya kau melepaskan pisau itu. Kau terlihat mengerikan memegangnya." Aku tidak ingin membuatnya takut. Ku letakkan pisau itu di meja bar.

"Tapi aku heran dengan kejadian sebelum-sebelumnya dan sekarang. Di kejadian pertama, kau memohon pertolonganku, di kejadian yang kedua kau memohon kepadaku untuk tidak menyebutkan dimana ganja itu. Dan sekarang, kau meminta lagi supaya aku menyebutkan dimana ganja itu."

"Apa maksudmu, Andrew? Aku tidak paham." Clarissa terlihat bingung. Mungkin memang hanya aku yang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

"Lupakan saja. Sebaiknya kita pulang." aku memeluk Clarissa lagi dan mencium keningnya. Kemudian bersiap-siap untuk pergi dari sana.

"Memangnya kau menyimpan ganja itu dimana, Andrew?"

"Tasku. Aku berencana akan menjualnya kepada seseorang yang sangat berpengaruh di Jakarta Selatan."

Aktifitasku berhenti. Aku merasakan ada yang menancap di punggungku dan kemudian dicabut kembali. Aku menengok ke belakang dan leherku langsung digorok. Aku tersungkur jatuh menatap Clarissa memegang pisau itu.

"Sudah kubilang Andrew, seharusnya kau beritahu dimana ganja itu."

Mataku terpejam dan nyawaku hilang lagi untuk ketiga kalinya.


***

Aku terbangun lagi. Kali ini keadaannya sedikit berbeda. Hanya ada aku dan Clarissa. Tanganku terikat dan Clarissa yang memegang pisaunya.

"Katakan Andrew, dimana ganja itu?"


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com

Sabtu, 07 Maret 2015

Review Gelombang: Supernova #5



Di setiap novel Supernova, Dee selalu membuat ensiklopedia menjadi bentuk cerita menarik yang dicampur dengan imajinasi. Salah satunya novel Gelombang. Di novel ini Dee mengambil adat istiadat batak untuk dijadikan latar belakang pembuka cerita. Hal ini mengingatkan saya pada Supernova yang pertama. Ketika Reuben ingin membuat suatu cerita dengan Dimas, dia berkata “Aku ingin tokoh-tokoh kita semuanya muda, usia produktif, urban, metropolis, punya akses teknologi dan informasi yang baik. Percuma pakai tokoh gelandangan atau setting desa dengan sok-sok pakai aksesori kebudayaan daerah. Kenyataannya, para yuppies tadi yang bakal jadi corong bangsa, yang mampu membangun sekaligus paling potensial untuk merusak”. Tapi di novel Gelombang ini Dee seakan-akan mematahkan pendapat Reuben, tokoh yang Dee buat sendiri dalam KPBJ, bahwa yang berasal dari desa pun juga tidak kalah dari tokoh-tokoh muda yang metropolis.

Alfa, tokoh utama yang (tadinya) merasa sebagai anak normal dari Sianjur Mula-Mula mulai merasakan perbedaan sejak sebuah upacara Gondang diselenggarakan. Dia selalu bermimpi buruk dan hampir mati karenanya. Selain itu Alfa juga sering melihat sosok besar hitam tanpa wajah kecuali mata seperti mata kucing. Gara-gara hal itu, Alfa menjadi incaran para ketua adat untuk diperebutkan menjadi muridnya. Yang pada akhirnya ternyata hanya kamuflase mereka untuk menarik perhatian Alfa. Togu Urat dan Ronggur Panghutur merupakan ketua adat beda kampung yang memiliki misi berbeda. Perkelahian antara Togu Urat dan Alfa terjadi tanpa Alfa sangka dan Alfa pun menang. Dibantu Ronggur Panghutur, Alfa diberikan 2 buah batu yang masing-masingnya mempunyai lambang sebagai identitas dirinya dan kelompoknya. Kemudian Alfa dan keluarganya merantau ke Jakarta. Di Jakarta, keluarga Alfa dibantu oleh Bapaktua yang memberikan tempat tinggal sementara sampai ayahnya mendapatkan pekerjaan dan uang yang cukup untuk mengontrak rumah sendiri. Kehidupan mereka mulai membaik dari tahun ke tahun berkat kerja keras ayahnya Alfa.

Adapun novel ini menceritakan karakter-karakter dari setiap keluarga Alfa yang berbeda-beda. Tak lupa Dee juga mencampurkan unsur humor yang dapat membuat pembaca merasa geli ketika ibunya sedang menghafal salah satu rumus fisika dari bukunya Eten, kakaknya Alfa, saat sedang mencuci baju. Selain humor, ada emosi lain yang dicampur oleh Dee ketika ayah dan ibunya bertengkar. Dee memvisualisasikan dengan baik perasaan seorang ibu yang mati-matian membela anaknya ketika ayahnya menginginkan Alfa tetap tinggal di Sianjur Mula-Mula daripada ke Jakarta. Seperti terhisap dalam kejadian-kejadian tersebut, saya mampu merasakan perasaan pada setiap tokohnya. Tidak seperti Supernova yang pertama, isi novel Gelombang lebih bervariatif. Disini saya melihat transformasi Supernova yang beranjak “dewasa”, yang tadinya karakternya sedikit, ceritanya serius dan penuh dengan footnote, sekarang karakternya menjadi lebih banyak lagi dengan sifat yang lebih bermacam-macam, ceritanya juga jadi lebih lucu dan menarik. Dan tentu saja selalu ada pengetahuan baru yang disajikan tanpa membuat footnote-nya terlalu banyak, sehingga pembaca tidak merasa terganggu dan lebih bisa menikmati jalan ceritanya.

Kembali pada tokoh utama, Alfa kemudian menawarkan diri untuk menggantikan kakaknya, Eten, merantau ke Amerika saat ada seorang bermarga Gultom menawari kesempatan tersebut. Alfa sangat sadar bahwa kepergiannya ke Amerika akan menambah beban ayahnya karena ayahnya harus berhutang besar kepada Bapaktua untuk membiayai kepergiannya ke Amerika. Karena itu Alfa mengambil kerja paruh waktu di sebuah restoran Italia sambil bersekolah di Amerika. Di Hoboken, Amerika, Alfa mendapat tempat tinggal di kediaman keluarga Batubara dari Medan yang juga merantau ke Amerika. Menurut silsilah keluarga, mereka merupakan keluarga jauh Alfa. Sehingga Alfa memanggil Amanguda atau paman kepada kepala keluarganya. Sayangnya perbedaan keyakinan antara Alfa dengan keluarga tersebut menjadikan situasi di rumah itu sangat tidak mengenakan bagi Alfa karena Alfa dianggap sebagai pemuja setan oleh sepupu-sepupunya. Tidak hanya masalah internal yang berada di rumah tersebut, Alfa juga harus selalu berhadapan dengan geng-geng dari berbagai negara yang juga termasuk imigran di Hoboken. Naluri bertahan hiduplah yang membuat Alfa harus mempelajari semua bahasa mereka dan berlaku sebaik-baiknya. Geng dari Meksiko menjadi pengecualian bagi Alfa. Keengganannya berhubungan dengan Rodrigo, ketua geng Meksiko, memicu pertengkaran yang "hanya" mengakibatkan luka-luka di wajahnya. Hal tersebut bisa dibilang keberuntungan karena Alfa merupakan teman dekat dari adik Rodrigo, Carlos, dan juga Alfa membantu Carlos untuk lulus saringan beasiswa. Tidak hanya Carlos, Alfa bersama dengan Troy, sahabat Alfa, mereka bertiga berusaha keras untuk bisa kuliah dan tinggal bersama di New York. Carlos dan Alfa yang datang dari keluarga kurang mampu hanya bisa mengandalkan beasiswa, sementara Troy sebaliknya, uang tidak pernah menjadi masalah baginya.

Sampai sini Dee tidak menunjukan hal-hal "ajaib" seperti yang terjadi di Sianjur Mula-Mula. Cerita bagian ini lebih menekankan perjuangan anak rantau dari kampung ke kota kemudian ke luar negeri. Bisa dibilang penggambaran cerita di sini tidak ada "jeda" untuk Alfa bersantai. Dari masalah hubungan dengan sepupu jauhnya, harus belajar lebih keras supaya bisa lulus saringan beasiswa, status imigran gelap yang tidak pernah absen dari pikirannya, bagaimana dia harus bersikap dengan para gangster tersebut, serta harus mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk melunasi hutang ayahnya. Bisa dibayangkan betapa besar tekanan yang datang padanya. Namun sosok Alfa diceritakan begitu tangguh, tidak pantang menyerah karena menyerah artinya mati. Di sini Dee juga menunjukkan bahwa novel tidak melulu harus menjadikan pembaca ikut melayang berimajinasi tetapi juga ikut menjejak tanah dan melihat kenyataan hidup. Tentu saja diantara beban hidup yang diceritakan di novel ini, Dee menyelipkan suatu “kunci” yaitu keberhasilan akan mengikuti orang yang bekerja keras. Dan itu berlaku pada semuanya termasuk sang tokoh utama.

Alfa kemudian berhasil mendapatkan beasiswa, lalu berkesempatan kerja di Wall Street. Satu per satu permasalahannya diselesaikan hingga tidak tersisa lagi masalah dalam hidupnya kecuali mimpinya. Dibantu dr. Nicky Evans dan dr. Colin, Alfa akhirnya mampu mengendalikan mimpinya. Merasa masih ada informasi yang kurang lengkap, Alfa mencari dr. Kalden Sakya untuk membantunya menemukan makna di mimpinya dan mengetahui jati dirinya.

Tidak hanya imajinasi dan perjuangan hidup, Dee juga menyelipkan filosofi-filosofi di novel Gelombang dan cerita cinta segitiga antara Ishtar, Alfa dan Nicky sebagai bumbu pelengkap. Sehingga menurut saya novel Gelombang ini seperti gado-gado. Tentu saja ada yang menyukai gado-gado dan ada yang tidak, bergantung pada sudut pandang dan isi kepala masing-masing.

Jadi apakah novel Gelombang ini? Novel dewasa? Novel filosofi? Atau Novel yang berisi cerita khayal?

Inilah Gelombang, semuanya itu ada didalamnya dan orang-orang menyebutnya novel Supernova.

Sabtu, 23 Agustus 2014

Kain Bermotif Parang

Cerita ini merupakan CERMIN pilihan Bentang Pustaka dengan tema BATIK Agustus 2014 minggu ketiga.

“Kenapa Engkau membiarkanku hidup jika aku tidak berguna?” wanita itu memandang ke langit, mencari jawaban atas pertanyaannya. Nihil. Tidak ada satupun suara yang ia dengar ataupun bentuk awan yang berubah sebagai jawaban. “Dia bilang aku tidak berguna. Ketika dia membutuhkanku, aku selalu tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan hanya untuk mencari sebuah kain bermotif parang saja aku tidak bisa.” wanita itu mencoba untuk berdiri dari kursi rodanya, namun kakinya yang tidak lagi bersahabat membuatnya terjatuh. Air matanya sudah kering. Dia tidak lagi mampu menangis. Yang hanya dapat ia lakukan saat ini adalah menunggu.

Matahari telah terbenam, sudah 1 jam lamanya ia menunggu. Kini senyumnya terukir di wajahnya “jika memang Engkau tidak mencabut nyawaku saat ini, maka baiklah aku yang berinisiatif lebih dulu untuk bertemu dengan-Mu dan mempertanyakan semuanya. Supaya jelas bagiku, mengapa dia mengusir aku hanya karena kain bermotif parang itu tidak dapat kutemukan.” Diambilnya sebilah pisau dari kantung bajunya dan ditusukannya ke jantung hingga rebahlah tubuhnya. Seorang pria yang melewati tempat itu berlari menuju wanita itu “mbak, bangun mbak. Tolong... tolong...” dia menggendong tubuh wanita itu dan segera mencari taksi untuk dibawa ke rumah sakit. Samar-samar wanita itu membuka matanya “kain bermotif parang,” ujarnya parau “akhirnya aku menemukanmu.”

Rabu, 20 Agustus 2014

Cinta Mati



Aku tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaanku. “aku tidak mau mati” ujarku. Ya disaat itulah dia menodongkan pisau ke leherku sambil menangis-nangis.
“Jika aku bisa memilikimu, mungkin tidak akan seperti ini jadinya.” Dia terus saja menangis, tapi tangannya tidak lepas dari pisau itu.
“Kumohon, jangan bunuh aku” pintaku memelas. Pria itu memang sudah gila. Tapi mungkin kegilaan ini tidak akan ada jika aku memang tidak seusil itu masuk dalam kehidupannya.
“Aku mencintaimu dengan sangat. Mengapa kamu mau memutuskan hubungan kita? Apa salahku?”
“Aku tidak mencintaimu Larry. Aku hanya ingin dekat denganmu. Itu saja. Aku rasa kita telah salah paham. Kita bisa bicarakan baik-baik kan?” Aku mencoba mencari kata-kata yang bagus untuk membujuknya, namun usahaku sia-sia.
“Kenapa kamu tega berbuat seperti ini kepadaku? Kenapa?” teriaknya semakin menjadi-jadi. Jantungku berdebar kencang, pria ini semakin gila. Jika aku tidak berbuat sesuatu, dia benar-benar akan menyembelihku.
Aku mencoba meraih payung yang ada di sebelah kananku, sayangnya tindak-tandukku telah diketahui olehnya lebih dulu.
“Mau apa kau, dasar pelacur!” Larry menusukkan pisaunya ke jantungku. Aku terjatuh dan menahan kesakitan.
“Terimalah hadiah terakhirku untukmu, ini dari hatiku yang paling dalam” aku menatapnya tidak percaya. Tapi disaat itu juga nafasku mulai melemah.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Rabu, 27 Februari 2013

There is a death in my office!!!

Suara ketik jari-jemari memenuhi ruang kerja.
Semua karyawan sedang asik dengan tugasnya masing-masing.
Dan kemudian dengan serentak semua orang yang ada di ruangan itu berteriak "Yaaaaaa...."

'There is a death in my office!!!', gumam ku dalam hati.

Listrik turun, lampu beserta dengan komputer mati secara serentak di seluruh ruangan.
Hiruk pikuk memenuhi ruang kantor. Ada yang berteriak "Ya, stored procedure yang gue bikin hilang semua nih...!!!", yang lain menyahut "Data gue belom di save!!!".

Kemudian sesuatu yang lebih hidup terjadi. Perbincangan antar manusia yang baru saja bangun dari "hibernasi"-nya diantara barang-barang elektronik yang kini sedang mati

Bintang Semu


Salah satu cerita mini yang menang dalam Lomba Menulis Kisah Mini Tingkat Nasional 2012 yang diadakan oleh FSBP dan bukunya sudah diterbitkan dengan judul "Nyawa Ibu" terbitan Uma Haju Publishing House

Janet tidak akan pernah lupa bagaimana dia melewatkan malam yang cantik itu bersama ribuan bintang yang terus memanggil namanya. Bak artis yang sedang menyapa penggemarnya, Janet melambai-lambaikan tangan ke langit menyapa kerlipan-kerlipan cahaya yang tak sabar untuk menemuinya. Namun mereka tak bisa lama, karena mereka masih harus menemui jutaan bahkan milyaran ciptaan Tuhan lainnya dibelahan bumi yang berlainan. Meskipun demikian, Janet tetap tersenyum menatapi langit. Senyuman khas seorang putri tidur. Bukan, bukan seperti putri tidur di dalam dongengan. Dia Janet, putri tidur yang menyukai bintang. Ah aku tahu, semua orang menyukai bintang bersinar, begitu juga Janet. Tapi dia tidak sekedar menyukai, baginya bintang itu segalanya. Kesukaannya, ambisinya, kebahagiaannya, bahkan hidupnya. Dia selalu ingin menjadi astronot yang dapat menggapai bintang, namun kemampuannya hanya dapat membawanya menjadi seorang astronom.
"Oh Be A Fine Girl Kiss Me"
“Kau masih mengingatnya?”
“Tentu aku masih mengingatnya. Jawaban terakhir yang meluluskan ku dalam mata kuliah astronomi”
“Apa kau masih mampu menjelaskannya?”
“O, B, A, F, G, K, M. Berdasarkan spektrumnya, bintang dibagi ke dalam 7 kelas utama yang dinyatakan dengan huruf-huruf tersebut yang menunjukkan urutan suhu, warna dan komposisi kimianya.”
Marvelous. Kau sungguh luar biasa, kau bukan hanya pandai dalam bidang astronomi, namun kau lah bintangnya”
Janet hanya tersenyum mendengar pujianku. Seperti sudah biasa mendengarnya, dia tidak terlihat tersanjung sekalipun.
“Ayah, kau tahu mengapa aku menyukai bintang?”
“Karena kau ingin menjadi astronot seperti almarhum ibumu”
“Ya benar. Namun ada alasan lain mengapa aku menyukai bintang”
“Apa itu?”
“Karena aku seperti bintang, ayah. Bukan bintang yang nyata, aku bintang yang semu. Bintang yang tidak menghasilkan cahaya sendiri, tetapi memantulkan cahaya yang diterima dari bintang lain. Bintang yang hanya bisa bergantung pada cahaya lain, seperti aku yang selalu bergantung pada darah di rumah sakit ini, semenjak aku terkena leukimia”
“Nak, bertahanlah. Ayah pasti akan berusaha mencari cara untuk menyembuhkan mu”
Dia hanya menggelengkan kepala. Terlihat dari wajahnya yang pucat, dia sudah begitu lelah dengan obat-obatan dan terapi yang diberikan para dokter.
“Ayah, aku yakin ayah pasti siap. Jika aku sudah berada diantara bima sakti nanti, aku akan mengumpulkan bintang yang banyak untuk diberikan kepada ayah. Aku akan menunggu mu disana”
Matanya terlelap, degup jantungnya melemah dan nafasnya tersengal-sengal. Raganya tak lagi mampu menopang rohnya yang segera ingin keluar menuju antariksa. Meskipun pipi sudah bersimbah air mata, namun aku berusaha untuk siap. Siap untuk melepasnya terbang menuju galaksi yang selalu menjadi mimpinya.

Kamis, 19 Juli 2012

Sebatas Fajar

Pintu terbuka, seorang wanita muda memasuki apartemen dan menggantung jaketnya di gantungan pintu. Matanya disuguhkan dengan tatanan sofa dan televisi yang berada di ruang tengah yang juga menjadi ruang tamunya. Dia kemudian melangkahkan kaki menuju kamarnya. Senyum kebahagiaan mulai terlukis di wajahnya yang penat akibat kesibukan kantornya. Kesibukan yang membuatnya hampir tidak dapat merasakan rasa rindu kepada kekasih hatinya yang sekarang berada di hadapannya. Dia segera menghampiri dan memeluk kekasihnya itu.

“Aku merindukanmu”
“Aku juga, Cisa. Bagaimana dengan harimu?”
“Sibuk. Pak Yosan hampir tidak mengijinkanku istirahat sebelum semua laporan keuangannya rampung” Cisa duduk di ranjang kamarnya sambil merenggangkan tubuhnya.
“Berarti kamu belum makan dari tadi siang?”
“Sudah. Tapi terlambat. Aku baru makan jam 3 sore tadi. Semua laporan sudah kuselesaikan dan langsung aku taruh di meja kerjanya.”

Kedua insan itu terdiam sejenak. Mata mereka saling memandang. Hati mereka bertautan. Senyum merekah menjadi bahasa yang menghantarkan mereka kepada satu kalimat ‘aku menyayangimu’. Namun kemudian wajah Cisa menjadi gelisah, satu petir telah menyambar pikirannya yang membuatnya tersadar akan keadaan mereka saat ini.

“Aku ingin kita bersama selamanya”
“Kita sudah selalu bersama”
“Belum. Aku hanya bisa bertemu denganmu malam hari saja sekarang ini. Aku juga ingin menemuimu disaat lain.”

Mereka terdiam lagi. Kali ini ada wajah tak yakin yang Cisa dapatkan dari kekasihnya.

“Aku rasa kita hanya bisa seperti ini, Cisa”

Cisa terdiam. Dia sungguh tidak ingin kalimat yang baru saja di dengarnya itu keluar dari mulut kekasihnya.

“Kenapa? Aku mencintaimu dan kamu mencintaiku. Tak ada halangan bagi kita untuk bersatu selamanya bukan?”
“Umurmu sudah tidak muda lagi. Mungkin sebaiknya kamu mencari pria yang tepat dan mencintaimu dengan sungguh-sungguh.”

Petir yang kedua kalinya menyambar. Kali ini di tempat yang berbeda, bukan di pikirannya, tapi di hatinya.

“Aku tidak mau yang lain, Elanor. Aku mau kamu”
“Kita sudah saling memiliki. Tidak ada keraguan lagi mengenai perasaan kita. Tapi sekarang yang perlu kamu pikirkan adalah masa depanmu. Kamu tidak perlu lagi memikirkan aku dan hubungan kita. Kita baik-baik saja”
“Kita tidak baik-baik saja. Aku ingin selalu bertemu denganmu”
“Kamu tahu itu tidak bisa. Kamu memerlukan orang lain selain aku. Kamu butuh berkeluarga”

Cisa terdiam. Dia menangis. Hatinya teriris. Sama teririsnya dengan Elanor yang kemudian duduk di ranjang dan memegang tangan Cisa.

“Cisa, jangan menangis. Aku sedih melihatmu begini”

Cisa memandang Elanor dalam-dalam. Hatinya sakit harus membayangkan keinginan Elanor jika terjadi. Namun begitu, sebagian dari dirinya merasa yang dikatakan Elanor benar bahwa dia membutuhkan pendamping saat ini. Dia membutuhkan keluarga yang bisa mengisi hari-harinya. Namun, sebagiannya lagi menolak. Ada perasaan dimana dia merasa Elanor itu cukup baginya. Hanya Elanor.

Elanor menggelengkan kepala seolah dia membaca pikiran Cisa.

“Tidak, Cisa. Aku tahu ini keputusan yang berat untukmu. Tapi kamu harus menyingkirkan keegoisanmu dulu dan berpikirlah jauh ke depan. Kamu akan lebih bahagia mempunyai sebuah keluarga.”
“Aku tidak yakin berkeluarga akan membuat diriku lebih bahagia daripada bersamamu. Aku lebih memilih hubungan kita yang sekarang daripada menikah”
“Kamu tahu, kamu begitu mirip denganku. Kamu berkeinginan kuat, mandiri, tidak mudah putus asa, tapi kamu juga tidak berpikir panjang. Kamu lebih memilih zona aman yang kamu punya sekarang. Kamu menginginkan sesuatu yang lebih tapi kamu tahu itu tidak mungkin bisa sekuat apapun keinginan itu.”
“Karena itu aku mengagumimu, Elanor. Karena kita sama. Karena kamu yang paling mengerti aku.”

Cisa kembali menyelami lebih dalam lagi tatapan Elanor untuk melihat rasa untuknya. Dan itu masih ada tapi kali ini lebih dalam. Seperti sudah tidak dapat dipisahkan lagi. Namun, Cisa menemui rasa yang lain disana. Rasa pedih. Kepedihan akan kenyataan bahwa kebersamaan mereka tidak akan seperti yang diharapkan.

Cisa mendekap ke dada Elanor. Berbagi rasa yang mereka punya untuk dinikmati walau hanya sebentar. Walau hanya sebatas fajar. Walau hanya untuk menumpahkan air mata terakhir.

Matahari mulai menyingsing, perlahan-lahan cahaya mulai menembus jendela kamar menerangi seisi ruangan.

“Cisa, ini saat terakhirku berjumpa denganmu. Keputusan ini sudah kumantabkan demi kebaikanmu. Tapi kamu tidak perlu khawatir. Aku akan selalu bersamamu.”

Cisa hanya bisa terisak dan terus memandang Elanor sebelum dia pergi

“Kamu tahu dimana aku berada. Aku menyayangimu”

Perlahan tapi pasti tubuh Elanor mulai menghilang ke bawah. Menyatu dengan dinginnya lantai yang baru saja diterangi mentari. Berubah gelap menjadi bayangan yang berada di bawah kaki Cisa.

Cisa melangkah pergi menuju lemari bajunya dan memandang pantulan cermin yang sosoknya serupa dengan kekasih hatinya.

“Aku juga menyayangimu, Narcisa Elanor Martinez”