Pintu terbuka, seorang wanita muda memasuki apartemen dan menggantung jaketnya di gantungan pintu. Matanya disuguhkan dengan tatanan sofa dan televisi yang berada di ruang tengah yang juga menjadi ruang tamunya. Dia kemudian melangkahkan kaki menuju kamarnya. Senyum kebahagiaan mulai terlukis di wajahnya yang penat akibat kesibukan kantornya. Kesibukan yang membuatnya hampir tidak dapat merasakan rasa rindu kepada kekasih hatinya yang sekarang berada di hadapannya. Dia segera menghampiri dan memeluk kekasihnya itu.
“Aku merindukanmu”
“Aku juga, Cisa. Bagaimana dengan harimu?”
“Sibuk. Pak Yosan hampir tidak mengijinkanku istirahat sebelum semua laporan keuangannya rampung” Cisa duduk di ranjang kamarnya sambil merenggangkan tubuhnya.
“Berarti kamu belum makan dari tadi siang?”
“Sudah. Tapi terlambat. Aku baru makan jam 3 sore tadi. Semua laporan sudah kuselesaikan dan langsung aku taruh di meja kerjanya.”
Kedua insan itu terdiam sejenak. Mata mereka saling memandang. Hati mereka bertautan. Senyum merekah menjadi bahasa yang menghantarkan mereka kepada satu kalimat ‘aku menyayangimu’. Namun kemudian wajah Cisa menjadi gelisah, satu petir telah menyambar pikirannya yang membuatnya tersadar akan keadaan mereka saat ini.
“Aku ingin kita bersama selamanya”
“Kita sudah selalu bersama”
“Belum. Aku hanya bisa bertemu denganmu malam hari saja sekarang ini. Aku juga ingin menemuimu disaat lain.”
Mereka terdiam lagi. Kali ini ada wajah tak yakin yang Cisa dapatkan dari kekasihnya.
“Aku rasa kita hanya bisa seperti ini, Cisa”
Cisa terdiam. Dia sungguh tidak ingin kalimat yang baru saja di dengarnya itu keluar dari mulut kekasihnya.
“Kenapa? Aku mencintaimu dan kamu mencintaiku. Tak ada halangan bagi kita untuk bersatu selamanya bukan?”
“Umurmu sudah tidak muda lagi. Mungkin sebaiknya kamu mencari pria yang tepat dan mencintaimu dengan sungguh-sungguh.”
Petir yang kedua kalinya menyambar. Kali ini di tempat yang berbeda, bukan di pikirannya, tapi di hatinya.
“Aku tidak mau yang lain, Elanor. Aku mau kamu”
“Kita sudah saling memiliki. Tidak ada keraguan lagi mengenai perasaan kita. Tapi sekarang yang perlu kamu pikirkan adalah masa depanmu. Kamu tidak perlu lagi memikirkan aku dan hubungan kita. Kita baik-baik saja”
“Kita tidak baik-baik saja. Aku ingin selalu bertemu denganmu”
“Kamu tahu itu tidak bisa. Kamu memerlukan orang lain selain aku. Kamu butuh berkeluarga”
Cisa terdiam. Dia menangis. Hatinya teriris. Sama teririsnya dengan Elanor yang kemudian duduk di ranjang dan memegang tangan Cisa.
“Cisa, jangan menangis. Aku sedih melihatmu begini”
Cisa memandang Elanor dalam-dalam. Hatinya sakit harus membayangkan keinginan Elanor jika terjadi. Namun begitu, sebagian dari dirinya merasa yang dikatakan Elanor benar bahwa dia membutuhkan pendamping saat ini. Dia membutuhkan keluarga yang bisa mengisi hari-harinya. Namun, sebagiannya lagi menolak. Ada perasaan dimana dia merasa Elanor itu cukup baginya. Hanya Elanor.
Elanor menggelengkan kepala seolah dia membaca pikiran Cisa.
“Tidak, Cisa. Aku tahu ini keputusan yang berat untukmu. Tapi kamu harus menyingkirkan keegoisanmu dulu dan berpikirlah jauh ke depan. Kamu akan lebih bahagia mempunyai sebuah keluarga.”
“Aku tidak yakin berkeluarga akan membuat diriku lebih bahagia daripada bersamamu. Aku lebih memilih hubungan kita yang sekarang daripada menikah”
“Kamu tahu, kamu begitu mirip denganku. Kamu berkeinginan kuat, mandiri, tidak mudah putus asa, tapi kamu juga tidak berpikir panjang. Kamu lebih memilih zona aman yang kamu punya sekarang. Kamu menginginkan sesuatu yang lebih tapi kamu tahu itu tidak mungkin bisa sekuat apapun keinginan itu.”
“Karena itu aku mengagumimu, Elanor. Karena kita sama. Karena kamu yang paling mengerti aku.”
Cisa kembali menyelami lebih dalam lagi tatapan Elanor untuk melihat rasa untuknya. Dan itu masih ada tapi kali ini lebih dalam. Seperti sudah tidak dapat dipisahkan lagi. Namun, Cisa menemui rasa yang lain disana. Rasa pedih. Kepedihan akan kenyataan bahwa kebersamaan mereka tidak akan seperti yang diharapkan.
Cisa mendekap ke dada Elanor. Berbagi rasa yang mereka punya untuk dinikmati walau hanya sebentar. Walau hanya sebatas fajar. Walau hanya untuk menumpahkan air mata terakhir.
Matahari mulai menyingsing, perlahan-lahan cahaya mulai menembus jendela kamar menerangi seisi ruangan.
“Cisa, ini saat terakhirku berjumpa denganmu. Keputusan ini sudah kumantabkan demi kebaikanmu. Tapi kamu tidak perlu khawatir. Aku akan selalu bersamamu.”
Cisa hanya bisa terisak dan terus memandang Elanor sebelum dia pergi
“Kamu tahu dimana aku berada. Aku menyayangimu”
Perlahan tapi pasti tubuh Elanor mulai menghilang ke bawah. Menyatu dengan dinginnya lantai yang baru saja diterangi mentari. Berubah gelap menjadi bayangan yang berada di bawah kaki Cisa.
Cisa melangkah pergi menuju lemari bajunya dan memandang pantulan cermin yang sosoknya serupa dengan kekasih hatinya.
“Aku juga menyayangimu, Narcisa Elanor Martinez”
You only find scratch here, what are you looking for? o.O
Kamis, 19 Juli 2012
Jumat, 20 April 2012
Matahari ini tak pernah sama lagi
Matahari ini tak pernah
sama, tak sama seperti yang kemarin, tak sama seperti senin siang yang terik
ini. Mungkin karena teriknya hingga menjadikan kafe ini sepi, menyisakan 4
orang yang sedang duduk dengan meja-meja terpisah. 2 orang tua yang seperti
sedang bernostalgia akan kisah mudanya, seorang remaja yang sedang sibuk dengan
gadget gaulnya, dan seorang lagi aku
yang sedang menuliskan sebuah cerita. Cerita hari ini mengenai aku dengan Max,
lelaki yang telah menemani ku selama 6 tahun, sampai akhirnya status in a relationship kami harus diganti. Dan
matahari ini telah berubah.
Malam itu aku datang ke
sebuah pesta. Pesta yang diadakan di rumah Max untuk merayakan cum laude S2 Manajemennya. Aku memakai fuchsia rosette dress dan membawa clutch bag pink dengan full payet. Baru setapak ku langkahkan
kaki menginjak rumahnya, suasana klasik begitu menyelimuti seisi ruangan. Instrumen-instrumen
Mozart berdentum mengayunkan kaki para tamu yang sedang berdansa, para pelayan
yang mengedarkan kue-kue kering dan gelas-gelas berisi sampanye, persis seperti
pesta para bangsawan. Sekitar 30 detik aku terpana menyaksikan pesta yang biasa
hanya ku lihat di televisi ini dan kini pesta itu ada di hadapan ku.
“Sunshine, kenapa diam saja? Ayo masuk.” Max memegang tangan ku dan
membawa ku ke tengah-tengah pesta.
“Oh ya Max, selamat ya sayang
atas kelulusan mu” ku peluk dan ku kecup pipi nya sebagai ucapan selamat.
“Terima kasih, cantik. Tapi maaf,
aku harus menemani seseorang dulu, nanti aku akan kembali lagi” ucapnya sambil
membalas kecupan
Aroma Axe Effect perlahan memudar seiring langkah kakinya menuju seorang
wanita yang mengenakan strapless long
prom dress merah yang begitu menggoda. Pelukan erat dan kecupan pipi menambah
kesan keakraban mereka ditambah beberapa percakapan yang menggoreskan lengkungan
senyum dan sedikit tawa kecil. Aku lebih memilih pergi mencari makanan yang
mungkin bisa dicicip dari pada mulai menumbuhkan rasa cemburu yang tidak
penting.
Almond
cheese cokelat, klapertart, dan puding semangka tampak menggoda
selera ku, namun aku hanya bisa mengambil buah-buahan yang tersaji untuk
menjaga berat badan ku.
“Kau sudah makan?”
“Oh Max, urusan mu sudah
selesai?”
“Sudah. Kau hanya makan buah
saja?”
Aku tersenyum mendengar
pertanyaan Max, tak bisa ku tampik lagi kalau aku memang sedang dalam masa diet.
“Oh ayolah Sunshine, apakah kau masih
mempertahankan diet konyol mu itu? Lihat lah tubuh mu, kau sudah tampak luar biasa
malam ini. Untuk apa kau melakukan diet lagi?”
Sekali lagi. Hanya senyum
yang bisa ku berikan atas pertanyaannya. Mungkin dia juga tidak tahu jika dress yang ku kenakan saat ini begitu
sempit dan bahkan hampir tidak dapat ku pakai.
“Ya, baiklah. Kita lupakan
dulu soal diet mu itu. Ada yang ingin ku bicarakan dengan mu. Mungkin ini akan
sedikit mengejutkan mu, tapi…”
Max terdiam, tampak gugup
dan sedikit kikuk. Aku terdiam memandang matanya yang tampak sedikit gusar.
“Sunshine, ku rasa ini semua harus diakhiri…”
“Diakhiri? Apanya yang
diakhiri?”
“Emmm…”
Belum sempat Max
mengutarakan maksudnya, rasa geli di perut membuat ku sedikit merinding.
“Maaf Max, aku harus ke
toilet sekarang. Bisa kau tunjukkan di mana toiletnya?”
Max mengarahkan telunjuknya
ke ujung koridor. Aku berjalan cepat menuju ke sana dan menemui sebuah pintu di
dalamnya.
“Kau lihat Max tadi?”
Seorang perempuan bertanya kepada
orang lain di luar pintu, terdengar seperti sebuah percakapan yang terjadi di
luar sana.
“Ya, dia tampak dekat dengan
Selena, mantan pacarnya waktu SMA dulu”
“Oh ya? Wanita yang bergaun
merah tadi itu Selena?”
“Ya, dia Selena”
“Jadi apakah mereka akan
melanjutkan hubungannya yang dulu?”
“Aku tidak tahu, tapi
mungkin saja begitu”
Aku segera membersihkan diri
dan menekan tombol flush. Seperti tersambar
petir, aku shock mendengar percakapan
mereka. Tidak mungkin dia tega meninggalkan ku hanya untuk kekasih lamanya. ‘Akhir’
tadi Max mengatakan ‘akhir’. apa yang dimaksudkan Max dengan kata-katanya tadi?
Apa yang diakhiri? Tidak mungkin dia meminta ku datang ke pesta ini hanya untuk
mengakhiri hubungan kami. Aku terus bertanya-tanya, aku terus merasa curiga. Jantung
ku berdetak kencang saat aku memikirkan untuk berpisah dengan Max, rasa takut
ku menjadi-jadi hingga mata ku sedikit berkaca-kaca. Matahari ini mungkin tak
pernah sama lagi, mendung kini menaungi ku masuk ke dalam pemikiran yang gelap
dan kelam.
Aku segera keluar dan
menghampiri Max, namun sepertinya dia sudah bersama wanita itu. Dekat, sangat
dekat jarak diantara mereka, sebegitu dekatnya hingga kaca yang telah tebentuk
pecah mengeluarkan tetesan air yang mengalir menyusuri pipi ku. Max mengajak
wanita itu ke tengah dan mengambil sebuah mic. Dia menatap ku dari kejauhan dengan
wajah yang masih sama tegangnya seperti tadi.
“Aku minta perhatian kepada
semuanya sebentar. Malam ini aku ingin mengumumkan sesuatu yang penting. Aku
mempunyai kekasih yang bernama Joyce. Dia ada di depan sana mengenakan gaun
berwana pink.”
Bak Miss Indonesia, semua
mata tertuju kepada ku yang sedang terdiam canggung. Aku segera menghapus air
mata supaya tidak merusak eye liner
ku yang sudah ku bentuk selama berjam-jam.
“Aku ingin membacakan sebuah
puisi untuknya. Puisi terakhir yang akan ku bacakan sebagai pacarnya. Ya, mungkin
saja setelah ini aku tidak akan menjadi pacarnya lagi”
Sontak jantung ku berhenti
meski hanya untuk sebentar. Kenyataan paling pahit yang ku bayangkan terjadi di
depan mata ku. Di depan puluhan orang di pesta ini.
Lantunan gesekan biola
mengalun dari tangan wanita bergaun merah itu, sebuah puisi terucap dari
mulutnya yang sedikit bergetar.
“Matahari
ku, hidup ku hangat bersama mu
Meski kita
tak lepas dari pertikaian
Meski ragu
datang mengganggu
Tapi
cahya mu tak hilang ditelan hujan
Matahari
ku, kau lah yang pertama bagiku
Melelehkan
es yang telah membeku
Merapuhkan
hati yang keras membatu
Hingga
membentuk ku menjadi yang baru
Matahari
ku, kau lah yang terakhir untukku
Ijinkan
ku menoreh senyuman itu
Membuat
kita menjadi satu
Maukah kau
menikah dengan ku?”
Alunan biola berhenti,
matanya memandang ku dengan penuh harap, sepenuh harapan mata-mata yang kini menatap
ku untuk menunggu sebuah jawaban.
“Aku… aku…” lidah ku kelu,
tak dapat mengutarakan apa-apa, tak dapat berpikir apa-apa.
Max datang menghampiri ku,
mendekat kepadaku dan memegang tanganku.
“Sunshine, would you illuminate me every morning and be my wife?”
Aku memeluknya. Mengucapkan beberapa
bisikkan kata yang hampir tidak bisa ku keluarkan.
“I do… I do…”
Sinar ini muncul kembali
sesudah awan gelap berkemul di hati dan pikiran ku. Kini matahari ini tak pernah
sama lagi, seperti status kami yang tak pernah sama lagi, we are married now.
Kamis, 12 April 2012
Satu kata maaf
Hari
ini aku memasuki ruang kantor dengan sedikit mengedap-endap. Setapak demi setapak menelusuri meja-meja yang kemudian
melewati ruangan kerja pak Roni, direktur perusahaan ini, aku sedikit melirik
ke dalamnya. Dan yang ku temui hanya pak
Jaja, office boy kantor yang sedang mengelap-elap monitor komputer pak
Roni. Seyum simpul menghiasi wajahku siang ini, ku langkahkan kaki dengan ringan menuju meja kerja
ku.
"Telat lagi ya Sis?"
"Eh Sari, iya nih hehehe..." senyum tiga jari ku tunjukkan sebagai rasa malu ku kepada Sari.
Sari hanya tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya kembali. Ku rapikan meja ku dan menyalakan komputer untuk mulai menyelesaikan tugas-tugas ku yang masih tertunda.
"Telat lagi ya Sis?"
"Eh Sari, iya nih hehehe..." senyum tiga jari ku tunjukkan sebagai rasa malu ku kepada Sari.
Sari hanya tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya kembali. Ku rapikan meja ku dan menyalakan komputer untuk mulai menyelesaikan tugas-tugas ku yang masih tertunda.
“Tik-tok...
tik-tok... tik-tok...”
Hanya
suara detik jam dinding yang terdengar. Suasana ruangan kantor sangat sepi
rasanya. Ku nyalakan musik di iPod ku
untuk menghentikan aksi ku yang selalu menguap setiap 15 menit sekali. Firework-Katy Perry, Marry You-Bruno Mars, Shake It Off-Agnes Monica, satu per satu
lagu dengan beat yang berdentum cepat
mengalun di telinga ku. Rasanya bukan semakin membaik, tapi mata ini malah semakin perih
melihat monitor cembung yang ada di depan ku ini. "Di jaman LCD yang udah
berkembang pesat seperti sekarang, masih aja pakai monitor layar cembung" keluh ku sambil mengusap-usap mata.
Ku letakan headset dan menjauh dari
meja kerja. Sambil merenggangkan otot-otot badan dan mengistirahatkan mata, aku
berjalan-jalan mengelilingi ruangan kantor. Sedikit ide iseng mengundang ku
untuk melangkahkan kaki menuju ruangan pak Roni.
“Eh
ada bu sekretaris, ngapain bu di sini?” sapa ku kepada bu Desi yang terlihat sedang mencari-cari sesuatu.
“Eh
Siska, saya lagi nyari berkas-berkas yang di minta pak Roni. Katanya minta
dikirimin ke rumah sakit”
Belum
sempat ku membuka mulut untuk melontarkan pertanyaan lanjutan, Indi datang membawa setumpuk kertas-kertas A4 yang sudah terisi tulisan-tulisan ber-font Arial.
“Bu
Desi, pak Roni mana? Saya mau kasih MOM waktu saya meeting di PT. Makmur Abadi kemarin nih bu”
“Oh
pak Roni masuk rumah sakit. Hari ini dia gak masuk. Kemarin dia pingsan, jadi
langsung di bawa ke rumah sakit. Katanya sih dia ngerasa mual-mual dan pusing
gitu, makanya ini saya mau bawain berkas-berkasnya dia ke rumah sakit”
“Hah?
Kok bisa? Sekarang keadaannya gimana?”
“Kata
dokter sih kena radiasi komputer. Dia sendiri udah mendingan sih, cuma dia
masih harus istirahat, takutnya ada efek lain gara-gara radiasi komputer itu”
“Itu
mah gara-gara monitornya tuh bu, masih aja pake monitor layar cembung begitu.
Ya udah deh kalau gitu, saya titip MOM-nya ya bu untuk dikasih ke si bos”
Indi
segera keluar dari ruangan setelah memberikan berkasnya kepada bu Desi,
sementara bu Desi masih membereskan berkas-berkas lainnya yang masih berceceran di atas meja.
“Bu,
ini protektor layarnya kemana?”
“Hilang
Sis, kemarin saya cari-cari di gudang juga gak ada stok protektor. Jadi ya cuma begini aja adanya”
Ku
perhatikan layar ini seperti masih baru. Tidak ada bekas-bekas kekuningan,
apalagi lecet-lecet. Persis seperti monitor yang baru dibeli.
“Monitor
ini baru dibeli ya bu? Kok kelihatannya mulus amat. Emangnya masih ada yang
jual?”
“Oh
itu stok dari gudang. Kan di bungkus plastik, jadi ya keliatan masih baru. Tapi
ini sih stok lama”
“Tapi
aneh ya bu, barang baru keluar dari gudang kok udah bikin efek radiasi yang
bikin orang sampai pusing-pusing begitu ya?”
“Ya
namanya stok lama, ya bisa jadi gara-gara udah lama gak di pakai jadi begitu”
Berkas-berkas
sudah terkumpul rapi dan dijadikan satu dalam amplop coklat besar, bu Desi segera
bergegas keluar dari ruangan dan aku masih mengamati monitor layar cembung
ini. Setelah beberapa lama memperhatikan layar, ku putuskan untuk kembali
ke meja ku. Baru melangkah setapak, aku seperti merasa menginjak sesuatu pada
karpet di dekat meja kantor pak Roni. Ku temukan sebuah besi kecil berbentuk
bundar setebal 0,5 cm. Tiba-tiba besi itu melekat pada pin kemeja ku yang juga
terbuat dari besi saat ku dekat kan ke arah tubuh ku. “Ini magnet dari mana
ya?” satu per satu pertanyaan keluar
saat melihat magnet itu. Pertanyaan yang terlalu panjang untuk dicari
jawabannya sekarang. Aku segera menyimpan magnet itu ke dalam saku celana dan
kembali ke meja kerja. Ku utak-atik komputer, menyelesaikan dengan segera
pekerjaan ku dan membuka-buka wikipedia untuk menjawab semua pertanyaan
yang masih bersarang di otak ku sedari tadi.
Waktu
sudah menunjukan pukul 18:30 WIB, semua orang sudah bergegas pulang termasuk
aku yang sudah mulai mengantuk dan ingin segera beristirahat. Ku langkah kan
kaki keluar ruangan dan mematikan lampu karena aku menjadi orang terakhir yang
keluar dari sana.
“Tik-tok...
tik-tok... tik-tok...”
Suara
detik jam dinding masih terasa sampai sini. 30 menit sudah aku menunggunya.
Suara langkah kaki itu akhirnya terdengar juga. Suara sepatu pantofel yang mengetok-ketok lantai memasuki
ruangan ini.
“Klik”
Lampu
ruangan ku nyalakan, ku lihat dia di ruangan pak Roni dengan wajah gugup
seperti maling yang tertangkap basah.
“Cari
ini?”
Ku
tunjukan magnet yang ku temukan tadi siang kepadanya.
“Ini
magnet ferit. Mempunyai daya tarik yang kecil terhadap besi atau benda yang
sejenisnya. Biasa digunakan dalam industri mainan, industri furnitur, induktor
elektronik, transformer, speaker suara, hiasan magnet kulkas, atau hiasan jepit
rambut seperti punya ibu, benar kan bu Desi?”
"Emmm... iya, saya cari itu. Tadi jatuh waktu saya beres-beres berkas”
“Oh
ya?”
Bu
Desi terdiam. Masih sedikit gugup namun seperti berusaha untuk membuat semuanya seperti tidak ada apa-apa.
“Produksi
hormon melatonin berkurang oleh adanya rangsangan dari
luar, misalnya cahaya serta medan elektromagnet. Medan elektromagnet dengan
intensitas tinggi dan dalam waktu yang lama dapat menurunkan produksi hormon
melatonin dan berpotensi menimbulkan berbagai keluhan, termasuk sakit kepala,
pusing, dan keletihan, serta insomnia. Mungkin hal itu tidak akan terjadi jika
efek radiasinya tidak begitu besar, tapi dengan menempelkan magnet di belakang
layar monitor dapat mempengaruhi intensitas radiasi menjadi semakin besar dan
dapat membahayakan si pemakai komputer”
Masih dengan diamnya, bu Desi hanya memainkan jari-jarinya untuk menghilangkan rasa takutnya
yang sudah memenuhi wajahnya.
“Dan
radiasi itu juga mungkin tidak berdampak sebesar itu kalau yang di tempel hanya
satu magnet ferit dengan daya kecil seperti ini. Saya menduga bu Desi
menempelkan magnet ferit ini lebih dari satu yang ibu simpan di balik jepit
rambut yang sedang ibu kenakan. Setelah pak Roni jatuh pingsan dan di bawa ke
rumah sakit, ibu mengambil kembali magnet-magnet itu, tapi malah terjatuh satu
di dekat meja pak Roni. Betul begitu?”
Wajahnya memerah dan matanya
mulai berkaca-kaca. Lidahnya seperti kelu tak dapat berkata-kata.
"Posisi monitor yang ibu pasang untuk pak Roni pakai juga terlalu tinggi dari posisi duduknya, sehingga mengganggu suplay udara yang masuk ke otak pak Roni yang memiliki darah rendah yang menyebabkan dia jatuh pingsan"
Dia menghapus air mata yang perlahan-lahan menetes keluar dari matanya. Kepalanya tertunduk melihat serpihan-serpihan debu di karpet yang sedari tadi menjadi saksi atas perbuatannya.
"Apa ibu tahu kalau ini bisa membahayakan hidup pak Roni? Apa ibu ingin membunuhnya?"
"Saya tidak bermaksud untuk membunuhnya. Hanya ingin memberi sedikit pelajaran kepadanya. Setiap hari dia selalu memarahi saya. Dia tidak pernah berterima kasih atas apa yang sudah saya lakukan untuknya. Baginya apapun yang saya kerjakan tidak pernah bagus di matanya. Saya sudah bekerja 5 tahun dengannya, tapi tidak ada penghargaan yang dia berikan kepada saya"
Mulut itu akhirnya terbuka, suara serak diiringi isak tangisan membuka pengakuannya malam ini.
"Saya hanya ingin dia merasakan bagaimana rasanya masuk rumah sakit akibat bekerja. Gara-gara dia, saya sampai harus menginap selama seminggu di rumah sakit dan dia masih saja memarahi saya saat saya mulai bekerja lagi"
Kini dia terdiam kembali setelah mengeluarkan segala unek-unek dan kekesalannya. Semua rasa, semua air mata, semua keletihannya, dia keluarkan tanpa sisa.
"Setelah ibu keluar dari rumah sakit, saya menyuruh ibu pulang cepat supaya gak drop lagi. Apa ibu ingat?"
Dia mengangguk tanda mengiyakan pertanyaan ku.
"Dan sebenarnya itu perintah dari pak Roni untuk menyuruh ibu pulang cepat. Dia sangat khawatir kalau kondisi ibu memburuk lagi kalau kerja terlalu keras."
Sebungkus tissue yang dia keluarkan dari tasnya sudah hampir habis untuk mengelap air matanya yang terus berjatuhan.
"Apa ibu tahu bahwa setiap diri manusia itu mempunyai magnetnya sendiri-sendiri? Memiliki kutub negatif dan kutub positifnya masing-masing, tapi kutub-kutubnya bersatu dalam satu magnet. Sama seperti pak Roni. Mungkin peringainya sedikit kasar dan suka marah-marah, tapi dia juga masih mempunyai rasa manusiawi dan punya rasa khawatir, hanya saja dia bukan tipe orang yang dengan mudah menunjukkan perasaannya. Dia masih peduli dengan bu Desi"
"Posisi monitor yang ibu pasang untuk pak Roni pakai juga terlalu tinggi dari posisi duduknya, sehingga mengganggu suplay udara yang masuk ke otak pak Roni yang memiliki darah rendah yang menyebabkan dia jatuh pingsan"
Dia menghapus air mata yang perlahan-lahan menetes keluar dari matanya. Kepalanya tertunduk melihat serpihan-serpihan debu di karpet yang sedari tadi menjadi saksi atas perbuatannya.
"Apa ibu tahu kalau ini bisa membahayakan hidup pak Roni? Apa ibu ingin membunuhnya?"
"Saya tidak bermaksud untuk membunuhnya. Hanya ingin memberi sedikit pelajaran kepadanya. Setiap hari dia selalu memarahi saya. Dia tidak pernah berterima kasih atas apa yang sudah saya lakukan untuknya. Baginya apapun yang saya kerjakan tidak pernah bagus di matanya. Saya sudah bekerja 5 tahun dengannya, tapi tidak ada penghargaan yang dia berikan kepada saya"
Mulut itu akhirnya terbuka, suara serak diiringi isak tangisan membuka pengakuannya malam ini.
"Saya hanya ingin dia merasakan bagaimana rasanya masuk rumah sakit akibat bekerja. Gara-gara dia, saya sampai harus menginap selama seminggu di rumah sakit dan dia masih saja memarahi saya saat saya mulai bekerja lagi"
Kini dia terdiam kembali setelah mengeluarkan segala unek-unek dan kekesalannya. Semua rasa, semua air mata, semua keletihannya, dia keluarkan tanpa sisa.
"Setelah ibu keluar dari rumah sakit, saya menyuruh ibu pulang cepat supaya gak drop lagi. Apa ibu ingat?"
Dia mengangguk tanda mengiyakan pertanyaan ku.
"Dan sebenarnya itu perintah dari pak Roni untuk menyuruh ibu pulang cepat. Dia sangat khawatir kalau kondisi ibu memburuk lagi kalau kerja terlalu keras."
Sebungkus tissue yang dia keluarkan dari tasnya sudah hampir habis untuk mengelap air matanya yang terus berjatuhan.
"Apa ibu tahu bahwa setiap diri manusia itu mempunyai magnetnya sendiri-sendiri? Memiliki kutub negatif dan kutub positifnya masing-masing, tapi kutub-kutubnya bersatu dalam satu magnet. Sama seperti pak Roni. Mungkin peringainya sedikit kasar dan suka marah-marah, tapi dia juga masih mempunyai rasa manusiawi dan punya rasa khawatir, hanya saja dia bukan tipe orang yang dengan mudah menunjukkan perasaannya. Dia masih peduli dengan bu Desi"
Wajahnya kini
hanya menyisakan rasa penyesalan dan isakan tangis yang mulai mereda. Meskipun demikian cerita hari ini akan terus menjadi harapannya untuk mendapatkan satu kata maaf yang belum terucap oleh si empunya
ruangan ini yang masih terbaring lesu di rumah sakit.
Kutub negatif
Kata teman-teman ku kita ini
cocok. Saling melengkapi satu sama lain, saling mengisi kekosongan yang telah
bersemayam lama di rongga-rongga dada, kita saling memiliki ketertarikan yang
kuat, dan hidup kita begitu bahagia. Tapi bukan hidup namanya jika kita tidak
punya masalah, yang menjadikan kita seperti sekarang. Tak berbicara, tak saling
menyapa, bahkan mungkin tak saling mengenal.
Sudah 2 minggu aku tak
mendapat kabar dari mu. Semenjak pertengkaran kita, kau jadi sering diam dan
sering bepergian keluar tanpa memberi tahu. Aku mencoba untuk melelehkan
kembali gunung es yang tumbuh besar di hati mu. Meskipun hasilnya tidak seperti
yang ku harapkan, tapi paling tidak kau masih mengeluarkan beberapa patah kata
untuk dibicarakan dengan ku. Sayangnya, es itu kembali membeku saat kau tidak
menyukai ku jalan dengan teman-teman pria ku. Cemburu kata mu. Ah, tapi aku
lebih suka menyebutnya posesif. Aku bisa menerima itu karena itu lah aku
menyukai mu. Tapi aku tidak bisa menerima sikap mu yang diam terus seperti ini.
Entah kemasukan setan apa, aku mengamuk di depan mu. Yang sebenarnya maksud ku
hanya ingin kau bicara pada ku. Aku tidak bisa terus-menerus menetap dalam
keadaan diam seperti ini. Bukan kata-kata yang ku dapat, tapi kau memilih pergi
dan tidak memberi kabar hingga sekarang.
Aku membuka kembali album
kenangan kita, disana ada tawa bahagia mu saat hari ulang tahun mu. Aku ingat
saat itu. Kau menyanyikan lagu ulang tahun untuk diri mu sendiri. Kau tak
peduli anggapan aneh orang-orang di kafe itu saat kau menyanyikan lagunya
dengan penuh nada sumbang. Setelah meniup lilinnya, kau bilang pada ku “kita
ini seperti magnet, saling tarik-menarik karena kita memiliki perbedaan pada
kutubnya. Aku lah kutub negatifnya, dan kau lah kutub positif ku” begitu katamu.
Meskipun tidak semua orang sependapat dengan itu. Kau tahu kan? Setiap pendapat
pasti ada yang pro dan ada yang kontra. Aku tak mempedulikan itu selama kita
masih bersama.
“Wi, gue lihat Santo jalan
sama cewe lain”
“Mungkin temannya kali”
“Beda Wi, ini jalannya mesra
banget”
Bagaimana mungkin itu
terjadi? Hanya karena aku mengamuk dan kau berubah secepat itu.
“Wi… Wi… lo masih dengerin
gue kan?”
“Eh iya, terus-terus?”
“Menurut gue, mending lo ke
rumahnya deh, tanya baik-baik”
Sambungan telepon terputus
setelah kata bye diucapkan. Ragu rasanya,
tapi paling tidak aku mungkin bisa menemui mu lagi bila aku ke rumah mu.
Perjalanan ini terasa sangat
mendebarkan, ada rasa tak percaya, khawatir, dan ada harapan untuk kembali. Taksi
ku melintas di jalan besar Pulomas, hampir sampai ke rumah mu. Ku buang semua
rasa resah dan khawatir dan menyiapkan uang untuk membayar ongkos.
“Di depan situ berhenti ya
pak”
Taksi ku meminggir di rumah
bernomor 20. Ku lihat rumah ini masih sama seperti dulu saat kau meminta ku
menjemput mu di sini. Saat kau ingin pergi dan menutup mata mengenai urusan
perceraian orang tua mu.
“Ting-tong…”
Ku pencet bel dan menemui
sosok yang mirip dengan mu, hanya terlihat lebih tua, lebih beruban, dan
berparas lebih bijak.
“Siang om, Santo ada?”
Cukup lama pak Darman
memandang ku, dari ujung rambut ke ujung kaki, kemudian kembali lagi menatap
ku.
“Kita bicara di luar
sebentar ya, ada yang ingin om bicarakan dengan mu”
Teras di depan rumah ini
terasa lebih dingin dari sebelumnya, atau aku yang terlalu gugup bicara dengan
ayahnya? Dua buah kursi berjejer di depan rumah siap untuk diduduki, meja
keramik di antaranya menjadi pemanis teras sebagai tempat berbincang kami
berdua.
“Nak Wi, kamu tahu kan bahwa
hubungan kamu dengan anak bapak tidak bisa diteruskan?”
Aku terdiam, menelan ludah
yang hampir mengering.
“Kamu tahu magnet kan? Kutub
negatif tidak akan bisa saling tarik-menarik dengan kutub negatif lainnya. Sifatnya
pasti tolak-menolak. Dan Santo, dia mungkin hanya bentuk magnet yang salah
dibuat oleh kami, kedua orang tuanya. Dan saya sedang berusaha keras untuk
membentuk kembali magnet yang benar untuk Santo.”
Bisa kubayangkan bagaimana
sebuah magnet harus dibakar, dibanting, dipukul-pukul untuk menghilangkan
dayanya dan dibentuk kembali menjadi magnet yang baru hingga menjadi Santo yang
sekarang.
“Sebaiknya nak Widodo pergi saja
dari sini dan jangan temui anak saya lagi. Saya tidak ingin magnet baru yang
sudah saya bentuk ini menjadi kacau lagi hanya karena kehadiran nak Widodo
disini.”
Dia masuk kembali ke dalam
rumah tanpa salam sampai jumpa, seperti memang tidak ada kesempatan lagi bagi
ku untuk bersama Santo. Ya, pak Darman benar, aku ini hanya kutub negatif. Kutub
negatif yang ingin menjadi kutub positifnya Santo. Namun bagaimana besarnya
keinginan ku tak akan mengubah cerita hari ini menjadi cerita yang happy ending bagi aku, Widodo dengan Santo.
Kamis, 05 April 2012
Buku Baru Yiyi
Juli 1839, Guangdong tidak
pernah sepanas ini sebelumnya. Panas yang menyengat hingga setiap tetes
keringat beradu keluar dari kulit putih nan rentan Yiyi kecil. Namun, ia tidak
begitu mempedulikan panasnya hari ini, karena ia begitu semangat mencoret-coret
buku barunya yang ia temukan di kolong lemari bajunya tadi pagi. Buku dengan
sampul hitam yang berisikan tulisan-tulisan yang masih belum bisa ia baca. Ia
buka lembar demi lembar, namun tak menemukan satu pun gambar atau halaman
kosong yang tersisa. Tak kehilangan akal, yiyi mulai menggambar di bagian
tepi-tepi buku yang tidak ada coretan apapun disepanjang 2,5 cm itu. Setiap
halamannya ia gambar dengan gambar yang berbeda-beda. Ada lingkaran, ada
segitiga, ada bujur sangkar, bahkan dia menggambar orang tuanya diantara
aksara-aksara kanji. Dia gambar lingkaran, kemudian tarik garis lurus vertikal,
menggoreskan dua garis hingga membentuk sudut segitiga atas di bagian bawahnya,
tak lupa dia menambahkan garis horizontal yang bersilangan dengan garis vertikal
di bagian tengah, kemudian membentuk mata, mulut dan rambut. Selesai. Jadilah
sebuah gambar berisi tiga orang yang dituliskan masing-masing dibawahnya “papa,
mama, yiyi”. Sebuah keluarga harmonis yang terlukis indah di buku barunya.
“Ma, khan. Wo hua mama he papa chai che ben xin xu. Ma, lihat. Aku menggambar mama dan papa di buku baru ini”
“Hau, teng sia mama lai khan. Mama cen chai cu u chan fan. Ya, nanti mama lihat. Mama sedang memasak untuk makan siang”
Jawab ibunya melemparkan senyum kepada Yiyi dan Yiyi melanjutkan aktifitas serunya kembali.
“Ma... Mama...”
Teriak seorang lelaki berkulit sawo matang sambil membuka pintu rumah dengan tergesa-gesa kemudian berlari menuju dapur untuk mencari istrinya
“Ada apa?”
“Dimana buku itu?”
“Buku apa?”
Bola mata lelaki itu langsung bergerak kesana-kemari mencari sesuatu yang berharga baginya dan pandangannya tertahan pada yiyi kecil yang masih asik menggambar. Lelaki itu berjalan cepat menghampiri yiyi dan menengok apa yang sedang ia lakukan
“Yiyi, kamu sedang apa?”
“Papa, aku menggambar papa, mama, dan aku di buku ini”
Lelaki itu terkejut bukan kepalang melihat buku yang sedang di coret-coret yiyi
“Yiyi, papa pinjam sebentar bukunya ya”
Tanpa mendengar jawaban anak semata wayangnya terlebih dahulu, lelaki itu langsung mengambil buku baru Yiyi dan menyembunyikan buku itu ke dalam celana kainnya.
“Buk... Buk... Buk... Buk... Mao Chun Yang... Mao Chun Yang...”
Suara besar di balik pintu seketika mengagetkan Mei Hua dan suaminya.
“Pa, siapa itu?”
“Tenang, Ma. Bukan siapa-siapa”
Sedikit gugup bercampur rasa takut, Chun Yang menghampiri pintu yang sudah digedor berkali-kali. Jantungnya berdegup kencang dan tangannya yang dingin bergetar tak bisa diam. Perlahan-lahan Chun Yang membuka pintu rumahnya yang hampir usang, dan menemui sesosok pria tegap setinggi 185 cm sedang menatap tajam ke arahnya dengan wajah yang kaku. Di belakangnya terdapat dua pria lainnya berkemeja putih dibalut jas hitam panjang yang mengapit pria tegap itu.
“A... a... ada yang bisa saya bantu tuan-tuan?”
“Kami kemari untuk membeli sebuah buku”
“Bu... buku apa yang sedang anda cari?”
“Buku yang berisi daftar nama-nama pedagang gelap itu. Kami tahu buku itu ada bersama mu”
“Maaf tuan-tuan, saya tidak mengerti maksud kalian. Dan sepertinya buku yang seperti itu tidak ada disini”
Chun Yang melempar senyum meringisnya dengan harapan pria-pria itu segera pergi dari sini dan tidak mencari buku yang mereka maksud.
“Ini tawaran terakhir kami, jika kau tidak mau menjual buku itu kepada kami. Terpaksa kami harus mengambilnya dengan cara kasar”
“Su... sungguh tuan, saya tidak mengerti buku apa yang kalian maksud”
Tubuh Chun Yang bergetar hebat, keringat dingin mulai membanjiri kening dan lehernya. Namun tentu saja jawaban Chun Yang tidak memuaskan pria-pria berjas itu, mereka masuk dengan paksa ke dalam rumah, menghambur-hamburkan barang-barang disekitar kamar dan ruang tamu. Yiyi yang kaget kamarnya dihampiri pria-pria asing, segera menghampiri dan memeluk ibunya. 10 menit cukup untuk memberantaki seisi rumah, namun mereka masih tidak juga menemukan buku itu.
Kesal karena barang yang dicari tidak ditemukan, pria besar itu mengambil sebuah Pistol Flintlock buatan Perancis sepanjang 45 cm dan mengarahkan kepada Chun Yang.
“Dimana buku itu?”
Chun Yang yang sangat ketakutan bersujud di hadapan mereka sambil memohon untuk tidak ditembak tanpa menjawab pertanyaan.
“Aku punya buku”
Suara Yiyi tiba-tiba mengheningkan suasana sejenak. Sang pria bertubuh besar menghampiri Yiyi untuk bertanya lebih dekat
“Yiyi” Ibunya mendekap Yiyi erat dan memegang mulutnya
“Dimana buku itu, nak?”
“Itu hanya buku gambar” langsung saja mulut Chun Yang melemparkan jawaban asal supaya anaknya selamat
“Diam!!! Aku sedang berbicara dengan anak mu.” bentaknya kesal “Dimana buku itu?”
Yiyi kecil berjalan menuju kamarnya, mengambil sesuatu untuk diberikan kepada pria itu dengan harapan mereka tidak memarahi ayahnya lagi. Yiyi keluar dari kamar sambil memegang sebuah buku bersampul hitam dan menyerahkannya kepada pria itu.
Wajah pria itu sumringah saat melihat buku yang dibawa Yiyi, perlahan namun pasti pria itu membuka halaman pertama dan menemukan tulisan “Tu hua xu. Buku gambar”. Pria itu kembali kecewa dan membanting bukunya.
“Jangan main-main dengan ku! Dimana buku itu?”
“Yang aku punya buku itu tuan”
Jawab Yiyi sambil terisak-isak menangis ketakutan. Ibunya kembali memeluk Yiyi untuk menjauhkannya dari pria itu. Habis sudah kesabarannya, ia kembali mengarahkan pistolnya ke arah Chun Yang.
“Bukuuu… Dimana buku itu?” bentaknya lagi
“Sungguh tuan, saya tidak mempunyai buku yang tuan maksud. Kalian juga sudah menggeledah tempat ini dan tidak menemukan apa-apa”
Jawaban Chun Yang tak dapat meredam kemarahan pria itu. Pitam yang sudah naik sampai di ubun kepala menggerakan tangannya itu untuk menarik pelatuknya. Percikan api yang menjalar menuju sumbu pistol, melayangkan peluru-peluru bulat ke dada Chun Yang. Tiga letupan senjata api mengakhiri urusan Chun Yang dengan pria-pria berjas itu. Mereka pergi meninggalkan Chun Yang yang bersimbah darah.
Setelah pria-pria itu menghilang dari hadapan keluarga Mao, Chun Yang mengambil buku yang tersimpan dibalik celananya dan memberikan kepada istrinya sebagai warisan terakhir.
“Tolong serahkan buku ini kepada komisaris Lin Ze Xu, pedagang-pedagang gelap itu harus segera di penjarakan, opium harus musnah dari negeri Cina”
Kalimat terakhir Chun Yang menjadi penutup hidupnya. Mei Hua mengambil buku itu dari tangan suaminya sambil terus-menerus menangis dan memeluk Yiyi yang sedang ketakutan. Ketakutan karena melihat ayahnya berlumuran darah dan tak bergerak dengan mata terbelalak. Yiyi tak mengerti apa maksud dari ucapan ayahnya tadi dan mengapa buku baru yang dipegang sang ibu harus membuat ayahnya diam tak bersuara. Yiyi juga mungkin tidak akan pernah tahu, bahwa cerita hari ini akan membuat buku barunya menjadi sebuah sejarah yang membawa Cina kepada Perang Opium I.
“Ma, khan. Wo hua mama he papa chai che ben xin xu. Ma, lihat. Aku menggambar mama dan papa di buku baru ini”
“Hau, teng sia mama lai khan. Mama cen chai cu u chan fan. Ya, nanti mama lihat. Mama sedang memasak untuk makan siang”
Jawab ibunya melemparkan senyum kepada Yiyi dan Yiyi melanjutkan aktifitas serunya kembali.
“Ma... Mama...”
Teriak seorang lelaki berkulit sawo matang sambil membuka pintu rumah dengan tergesa-gesa kemudian berlari menuju dapur untuk mencari istrinya
“Ada apa?”
“Dimana buku itu?”
“Buku apa?”
Bola mata lelaki itu langsung bergerak kesana-kemari mencari sesuatu yang berharga baginya dan pandangannya tertahan pada yiyi kecil yang masih asik menggambar. Lelaki itu berjalan cepat menghampiri yiyi dan menengok apa yang sedang ia lakukan
“Yiyi, kamu sedang apa?”
“Papa, aku menggambar papa, mama, dan aku di buku ini”
Lelaki itu terkejut bukan kepalang melihat buku yang sedang di coret-coret yiyi
“Yiyi, papa pinjam sebentar bukunya ya”
Tanpa mendengar jawaban anak semata wayangnya terlebih dahulu, lelaki itu langsung mengambil buku baru Yiyi dan menyembunyikan buku itu ke dalam celana kainnya.
“Buk... Buk... Buk... Buk... Mao Chun Yang... Mao Chun Yang...”
Suara besar di balik pintu seketika mengagetkan Mei Hua dan suaminya.
“Pa, siapa itu?”
“Tenang, Ma. Bukan siapa-siapa”
Sedikit gugup bercampur rasa takut, Chun Yang menghampiri pintu yang sudah digedor berkali-kali. Jantungnya berdegup kencang dan tangannya yang dingin bergetar tak bisa diam. Perlahan-lahan Chun Yang membuka pintu rumahnya yang hampir usang, dan menemui sesosok pria tegap setinggi 185 cm sedang menatap tajam ke arahnya dengan wajah yang kaku. Di belakangnya terdapat dua pria lainnya berkemeja putih dibalut jas hitam panjang yang mengapit pria tegap itu.
“A... a... ada yang bisa saya bantu tuan-tuan?”
“Kami kemari untuk membeli sebuah buku”
“Bu... buku apa yang sedang anda cari?”
“Buku yang berisi daftar nama-nama pedagang gelap itu. Kami tahu buku itu ada bersama mu”
“Maaf tuan-tuan, saya tidak mengerti maksud kalian. Dan sepertinya buku yang seperti itu tidak ada disini”
Chun Yang melempar senyum meringisnya dengan harapan pria-pria itu segera pergi dari sini dan tidak mencari buku yang mereka maksud.
“Ini tawaran terakhir kami, jika kau tidak mau menjual buku itu kepada kami. Terpaksa kami harus mengambilnya dengan cara kasar”
“Su... sungguh tuan, saya tidak mengerti buku apa yang kalian maksud”
Tubuh Chun Yang bergetar hebat, keringat dingin mulai membanjiri kening dan lehernya. Namun tentu saja jawaban Chun Yang tidak memuaskan pria-pria berjas itu, mereka masuk dengan paksa ke dalam rumah, menghambur-hamburkan barang-barang disekitar kamar dan ruang tamu. Yiyi yang kaget kamarnya dihampiri pria-pria asing, segera menghampiri dan memeluk ibunya. 10 menit cukup untuk memberantaki seisi rumah, namun mereka masih tidak juga menemukan buku itu.
Kesal karena barang yang dicari tidak ditemukan, pria besar itu mengambil sebuah Pistol Flintlock buatan Perancis sepanjang 45 cm dan mengarahkan kepada Chun Yang.
“Dimana buku itu?”
Chun Yang yang sangat ketakutan bersujud di hadapan mereka sambil memohon untuk tidak ditembak tanpa menjawab pertanyaan.
“Aku punya buku”
Suara Yiyi tiba-tiba mengheningkan suasana sejenak. Sang pria bertubuh besar menghampiri Yiyi untuk bertanya lebih dekat
“Yiyi” Ibunya mendekap Yiyi erat dan memegang mulutnya
“Dimana buku itu, nak?”
“Itu hanya buku gambar” langsung saja mulut Chun Yang melemparkan jawaban asal supaya anaknya selamat
“Diam!!! Aku sedang berbicara dengan anak mu.” bentaknya kesal “Dimana buku itu?”
Yiyi kecil berjalan menuju kamarnya, mengambil sesuatu untuk diberikan kepada pria itu dengan harapan mereka tidak memarahi ayahnya lagi. Yiyi keluar dari kamar sambil memegang sebuah buku bersampul hitam dan menyerahkannya kepada pria itu.
Wajah pria itu sumringah saat melihat buku yang dibawa Yiyi, perlahan namun pasti pria itu membuka halaman pertama dan menemukan tulisan “Tu hua xu. Buku gambar”. Pria itu kembali kecewa dan membanting bukunya.
“Jangan main-main dengan ku! Dimana buku itu?”
“Yang aku punya buku itu tuan”
Jawab Yiyi sambil terisak-isak menangis ketakutan. Ibunya kembali memeluk Yiyi untuk menjauhkannya dari pria itu. Habis sudah kesabarannya, ia kembali mengarahkan pistolnya ke arah Chun Yang.
“Bukuuu… Dimana buku itu?” bentaknya lagi
“Sungguh tuan, saya tidak mempunyai buku yang tuan maksud. Kalian juga sudah menggeledah tempat ini dan tidak menemukan apa-apa”
Jawaban Chun Yang tak dapat meredam kemarahan pria itu. Pitam yang sudah naik sampai di ubun kepala menggerakan tangannya itu untuk menarik pelatuknya. Percikan api yang menjalar menuju sumbu pistol, melayangkan peluru-peluru bulat ke dada Chun Yang. Tiga letupan senjata api mengakhiri urusan Chun Yang dengan pria-pria berjas itu. Mereka pergi meninggalkan Chun Yang yang bersimbah darah.
Setelah pria-pria itu menghilang dari hadapan keluarga Mao, Chun Yang mengambil buku yang tersimpan dibalik celananya dan memberikan kepada istrinya sebagai warisan terakhir.
“Tolong serahkan buku ini kepada komisaris Lin Ze Xu, pedagang-pedagang gelap itu harus segera di penjarakan, opium harus musnah dari negeri Cina”
Kalimat terakhir Chun Yang menjadi penutup hidupnya. Mei Hua mengambil buku itu dari tangan suaminya sambil terus-menerus menangis dan memeluk Yiyi yang sedang ketakutan. Ketakutan karena melihat ayahnya berlumuran darah dan tak bergerak dengan mata terbelalak. Yiyi tak mengerti apa maksud dari ucapan ayahnya tadi dan mengapa buku baru yang dipegang sang ibu harus membuat ayahnya diam tak bersuara. Yiyi juga mungkin tidak akan pernah tahu, bahwa cerita hari ini akan membuat buku barunya menjadi sebuah sejarah yang membawa Cina kepada Perang Opium I.
Rabu, 28 Maret 2012
Bangku Impian
Cerita hari ini berkisah
mengenai sebuah bangku sekolah. Bangku yang menjadi pusat perhatian ketika dulu
pertama kali ku jejakan kaki di kelas XII.1. Kelas ini adalah kelas unggulan
dan di kelas unggulan ini terdapat bangku sekolah unggulan. Ya benar, bangku
sekolah unggulan. Seluruh murid-murid di sekolah ini menyebutnya bangku impian.
Karena semua murid yang pernah menduduki bangku itu selama setahun, bernasib
mujur. Mungkin ini hanyalah mitos yang dikarang-karang dari jaman buyutnya
kakak kelas, tapi orang-orang seperti Direktur dari Perusahaan Kilangan Minyak
No. 1, Bambang Tamtaman, Politikus Muda Termasyur, Indra Irsanya, Pelukis yang
Go International seperti Mirsya Arzani, dan tentu saja wali kelas XII.1 yang
mendapatkan banyak penghargaan karena penemuan-penemuan benda-benda
arkeolognya, Prof. Sania Ahbidab, semuanya pernah menduduki bangku impian itu
selama setahun penuh di kelas ini. Prof. Sania Ahbidab atau biasa kami
memanggilnya bu San (dipanggil demikian karena dia tidak mau terlihat begitu
tua) adalah wakil kepala sekolah yang juga menjabat sebagai wali kelas XII.1. Dia
membuat suatu kejutan kepada semua murid kelas XII.1 di hari pertama kami masuk
kelas dan itu bermula gara-gara bangku impian, bangku yang terletak paling
depan dan berada di urutan ke-3 dari pintu masuk.
Keributan terjadi di kelas. Perkelahian antara Damian dan James menjadi kegiatan pembuka di hari pertama kami memasuki kelas ini.
“Eh itu bangku impian...”,
seru Damian sambil berlari ke arah bangku tersebut dan bertepatan saat dia
mendudukinya, James pun juga menduduki bangku itu.
“James, gue udah duluan
duduk di bangku ini, lo mending cari bangku yang lain aja”
“Sorry bro, gue yang lebih dulu duduk disini, jadi mending lo aja
yang cari bangku lain”
“Lo ngajak ribut sama gue?
Jelas-jelas dari tadi tuh gue yang sampai ke sini duluan bukan lo”
Keributan terjadi di kelas. Perkelahian antara Damian dan James menjadi kegiatan pembuka di hari pertama kami memasuki kelas ini.
“Semuanya diam!!!”
Suara keras menggema dari
ujung pintu mengheningkan suasana kelas, seorang wanita paruh baya nan cantik
jelita berjalan menuju meja guru. Semua murid bersegera duduk ke tempat duduk
secara acak dan Damian beserta James duduk di bangku impian.
“Saya tahu rumor itu sudah
berkembang cukup lama di sekolah ini, dan saya sangat mengerti apa yang kalian
ributkan disini. Saya Prof. Sania Ahbidab, wali kelas XII.1. Kalian bisa
memanggil saya bu San. Saya akan membuat suatu kompetisi untuk memperebutkan
bangku impian itu dan kompetisi ini berlaku untuk semua murid yang ada di kelas
ini”
Semua terdiam. Hening.
Sesekali kami saling menatap kepada yang lain sambil berbisik-bisik, mengenai
perkataan bu San.
“Siapapun yang memenangkan
kompetisi ini selain bisa menduduki bangku itu selama satu tahun pelajaran,
juga akan saya berikan nilai tambahan untuk ujian akhir geografi”
‘Apa? Nilai tambahan untuk
ujian akhir geografi? Ini kan baru awal tahun pelajaran’, semua membisikan
kalimat itu kepada satu sama lain. Hadiah yang sangat menarik. Siapa yang tidak
mau mendapatkan nilai tambahan untuk ujian akhir yang pelajarannya dimulai saja
belum. Apalagi bisa menduduki bangku impian itu selama satu tahun pelajaran
penuh.
“Kompetisinya mudah. Kalian
harus menebak teka-teki dari saya dan saya akan memberikan waktu selama
seminggu untuk menjawabnya. Jika setelah seminggu tidak ada yang bisa menjawab
teka-teki ini dengan benar, maka bangku itu tidak akan ada yang boleh
menempatinya selama satu tahun pelajaran.”
Bu San kemudian berjalan
menuju papan tulis dan mulai menuliskan sesuatu
“Apakah
aku? Ketika benang putih terpisah dari benang hitam, si bodoh datang
menghampiri ku dan ketika sang raja mulai mengantuk, si pintar pergi
meninggalkan ku. Aku mempunyai pasangan. Tanpa pasangan ku, aku akan sulit
dipakai si pintar untuk berkarya dan tanpa aku, pasangan ku tidak akan berarti
untuk si bodoh. Aku menjadi yang diperhatikan, maka perhatikanlah aku. Siapapun
yang mengenal ku akan ku bantu untuk membuat mimpinya menjadi nyata.”
“Catatlah ini baik-baik.
Jika ada yang sudah tahu jawabannya, silakan datang ke ruang guru untuk menemui
saya dan ungkapkan jawabannya disana”
Setelah bu San menulis
demikian, semua mencatatnya dan mulai memikirkan jawabannya. Tidak hanya
Damian, James, dan anak-anak yang lain, aku pun juga ingin menduduki bangku
itu. Berhari-hari aku memikirkan jawabannya, namun sangatlah sulit untuk
mendapatkan jawabannya. Satu per satu anak-anak di kelas ini sudah mencoba
menjawabnya, tapi belum ada satu pun yang menjawabnya dengan benar. Kecuali
Damian dan James. Mereka sangat berhati-hati dalam memikirkan jawaban ini.
Pernah suatu kali saat pulang sekolah aku melihat James duduk di bangku impian
sendirian, memperhatikan bangku itu, kemudian menatap ke depan. Entah mengapa,
tiba-tiba dia begitu girang, namun tak lama kemudian wajahnya berubah seperti
mendapat kejutan. Aku sangat penasaran dan menghampirinya.
“James”
“Eh Kirana...”, ucapnya
terkejut
“Lo kenapa melongo gitu?”
“Oh gak apa-apa. Gue udah tahu
jawaban dari teka-teki bu San”
“Oh ya? Apa tuh?”
“Nanti bakal gue jelasin di
hadapan semua anak-anak dan bu San”
James tersenyum. Senyumannya
seperti seorang filsuf yang mendapatkan filsafat-filsafat baru. Begitu tenang
dan dalam. Tidak ada lagi wajah menggebu-gebu pada dirinya seperti
sebelum-sebelumnya. Keesokan harinya bu San memanggil Damian dan James untuk
menjelaskan jawaban yang mereka dapatkan, tapi bukan dijelaskan di ruang guru
melainkan di depan kelas atas permintaan James.
“Oke, dimulai dari Damian.
Silakan kamu jelaskan jawaban mu”
Dengan penuh percaya diri
Damian memaparkan jawabannya.
“Apakah aku? Ketika benang putih terpisah dari benang hitam, si bodoh
datang menghampiri ku dan ketika sang raja mulai mengantuk, si pintar pergi
meninggalkan ku. Benang putih terpisah dari benang hitam artinya matahari
yang mulai terbit yang menandakan pagi hari, si bodoh datang menghampiri ku
artinya orang yang belum punya pengetahuan datang menghampirinya, ketika sang
raja mulai mengantuk menandakan yang berkuasa, jika konteksnya masih soal waktu
artinya yang menguasai hari yaitu matahari dan mulai mengantuk adalah waktu
dimana matahari mulai turun yaitu waktu pertengahan antara siang hari menuju
sore hari, si pintar pergi meninggalkan ku artinya yang berpengetahuan pergi
meninggalkannya. Jadi satu kalimat ini memperumpamakan murid baru yang
bersekolah dan pulang dengan pengetahuan dari sekolah.”
“Aku mempunyai pasangan. Tanpa pasangan ku, aku akan sulit dipakai si
pintar untuk berkarya dan tanpa aku, pasangan ku tidak akan berarti untuk si
bodoh. Aku menjadi yang diperhatikan,
maka perhatikanlah aku. Siapapun yang mengenal ku akan ku bantu untuk membuat
mimpinya menjadi nyata. Dan dari kalimat-kalimat terakhir ini sudah jelas
bahwa benda yang dimaksud pasti bangku impian. Bangku impian berpasangan dengan
mejanya, tentu tanpa meja dengan hanya bangku saja murid akan kesulitan untuk
menulis dan tanpa bangku hanya dengan meja saja tidak akan bermanfaat bagi
murid. Bangku impian juga menjadi perhatian bagi siapapun di sekolah ini dan dia
bisa mewujudkan impian siapa saja yang dapat mendudukinya selama setahun.”
Penjelesan Damian diakhiri
dengan tepuk tangan satu kelas. Sambil melemparkan senyum bangganya, Damian
membungkukkan badan sebagai tanda hormat kepada kami seperti seorang dirigen
yang memberikan salam terima kasih di akhir pertunjukan.
“Bagus Damian, tapi
penjelasan mu kurang tepat. Dan jawaban mu salah”
Seketika setelah bu San
menanggapi penjelasannya, semua murid terdiam dan terkejut termasuk Damian.
“Karena jawabannya adalah
papan tulis”, sahut James tiba-tiba
“Aku mempunyai pasangan. Tanpa pasangan ku, aku akan sulit dipakai si
pintar untuk berkarya dan tanpa aku, pasangan ku tidak akan berarti untuk si
bodoh. Aku menjadi yang diperhatikan, maka perhatikanlah aku. Siapapun yang
mengenal ku akan ku bantu untuk membuat mimpinya menjadi nyata. Pasangan
tidak selalu harus bangku dan meja, bisa juga papan tulis dengan spidolnya.
Hanya dengan papan tulis tanpa spidol murid akan sulit menuliskan jawaban di
papan itu jika seorang guru memintanya menuliskan jawabannya, hanya spidol
tanpa papan tulis tentu tidak akan ada gunanya bagi murid yang mau mengerti
pelajaran. Papan tulis selalu menjadi perhatian di kelas ini, setiap pelajaran
pasti menggunakan papan tulis. Jika kalian memahami apa yang ditulis di papan
itu pada setiap pelajarannya, kalian pasti bisa menjawab soal-soal dalam ujian,
jika ujian kalian menjadi bagus, kalian bisa meraih cita-cita kalian”
“Well done, James. Jawaban mu benar”, ucap bu San dengan tersenyum
“Kamu berhak menempati
bangku itu dan mendapatkan nilai tambahan pada ujian akhir geografi”
“Terima kasih, bu. Tapi saya
rasa saya gak ingin duduk disana lagi. Saya tadinya berpikir kalau bangku ini
lah yang membuat setiap yang mendudukinya bisa meraih cita-citanya. Ternyata
saya salah. Siapapun yang duduk disini pasti akan terus menatap papan tulis
karena letak bangkunya paling depan dan berada di tengah, sehingga mau gak mau
yang selalu diperhatikan pasti papan tulis dan itulah yang membuat siapapun
yang duduk disini jadi pintar, karena dia belajar. Jadi yang perlu saya lakukan
adalah belajar, bukan mempercayai mitos ini”
Bu San berdiri dan memberikan
tepuk tangan untuk James dan bak magnet yang menarik paku-paku berserakan,
dengan serentak semua murid ikut-ikutan berdiri bertepuk tangan untuk James.
Pada akhirnya bangku ini memang tidak ada yang menempati, tapi sudah menjadi
sejarah yang terungkap mengapa bangku ini selalu menjadi impian semua orang.
Langganan:
Postingan (Atom)