Juli 1839, Guangdong tidak
pernah sepanas ini sebelumnya. Panas yang menyengat hingga setiap tetes
keringat beradu keluar dari kulit putih nan rentan Yiyi kecil. Namun, ia tidak
begitu mempedulikan panasnya hari ini, karena ia begitu semangat mencoret-coret
buku barunya yang ia temukan di kolong lemari bajunya tadi pagi. Buku dengan
sampul hitam yang berisikan tulisan-tulisan yang masih belum bisa ia baca. Ia
buka lembar demi lembar, namun tak menemukan satu pun gambar atau halaman
kosong yang tersisa. Tak kehilangan akal, yiyi mulai menggambar di bagian
tepi-tepi buku yang tidak ada coretan apapun disepanjang 2,5 cm itu. Setiap
halamannya ia gambar dengan gambar yang berbeda-beda. Ada lingkaran, ada
segitiga, ada bujur sangkar, bahkan dia menggambar orang tuanya diantara
aksara-aksara kanji. Dia gambar lingkaran, kemudian tarik garis lurus vertikal,
menggoreskan dua garis hingga membentuk sudut segitiga atas di bagian bawahnya,
tak lupa dia menambahkan garis horizontal yang bersilangan dengan garis vertikal
di bagian tengah, kemudian membentuk mata, mulut dan rambut. Selesai. Jadilah
sebuah gambar berisi tiga orang yang dituliskan masing-masing dibawahnya “papa,
mama, yiyi”. Sebuah keluarga harmonis yang terlukis indah di buku barunya.
“Ma, khan. Wo hua mama he
papa chai che ben xin xu. Ma, lihat. Aku menggambar mama dan papa di buku
baru ini”
“Hau, teng sia mama lai
khan. Mama cen chai cu u chan fan. Ya, nanti mama lihat. Mama sedang
memasak untuk makan siang”
Jawab ibunya melemparkan
senyum kepada Yiyi dan Yiyi melanjutkan aktifitas serunya kembali.
“Ma... Mama...”
Teriak seorang lelaki
berkulit sawo matang sambil membuka pintu rumah dengan tergesa-gesa kemudian
berlari menuju dapur untuk mencari istrinya
“Ada apa?”
“Dimana buku itu?”
“Buku apa?”
Bola mata lelaki itu langsung
bergerak kesana-kemari mencari sesuatu yang berharga baginya dan pandangannya
tertahan pada yiyi kecil yang masih asik menggambar. Lelaki itu berjalan cepat
menghampiri yiyi dan menengok apa yang sedang ia lakukan
“Yiyi, kamu sedang apa?”
“Papa, aku menggambar papa,
mama, dan aku di buku ini”
Lelaki itu terkejut bukan
kepalang melihat buku yang sedang di coret-coret yiyi
“Yiyi, papa pinjam sebentar
bukunya ya”
Tanpa mendengar jawaban anak
semata wayangnya terlebih dahulu, lelaki itu langsung mengambil buku baru Yiyi
dan menyembunyikan buku itu ke dalam celana kainnya.
“Buk... Buk... Buk... Buk...
Mao Chun Yang... Mao Chun Yang...”
Suara besar di balik pintu
seketika mengagetkan Mei Hua dan suaminya.
“Pa, siapa itu?”
“Tenang, Ma. Bukan
siapa-siapa”
Sedikit gugup bercampur rasa
takut, Chun Yang menghampiri pintu yang sudah digedor berkali-kali. Jantungnya
berdegup kencang dan tangannya yang dingin bergetar tak bisa diam.
Perlahan-lahan Chun Yang membuka pintu rumahnya yang hampir usang, dan menemui
sesosok pria tegap setinggi 185 cm sedang menatap tajam ke arahnya dengan wajah
yang kaku. Di belakangnya terdapat dua pria lainnya berkemeja putih dibalut jas
hitam panjang yang mengapit pria tegap itu.
“A... a... ada yang bisa saya
bantu tuan-tuan?”
“Kami kemari untuk membeli
sebuah buku”
“Bu... buku apa yang sedang
anda cari?”
“Buku yang berisi daftar
nama-nama pedagang gelap itu. Kami tahu buku itu ada bersama mu”
“Maaf tuan-tuan, saya tidak mengerti maksud kalian. Dan sepertinya buku yang
seperti itu tidak ada disini”
Chun Yang melempar senyum
meringisnya dengan harapan pria-pria itu segera pergi dari sini dan tidak
mencari buku yang mereka maksud.
“Ini tawaran terakhir kami,
jika kau tidak mau menjual buku itu kepada kami. Terpaksa kami harus
mengambilnya dengan cara kasar”
“Su... sungguh tuan, saya tidak mengerti buku apa yang kalian maksud”
Tubuh Chun Yang bergetar
hebat, keringat dingin mulai membanjiri kening dan lehernya. Namun tentu saja
jawaban Chun Yang tidak memuaskan pria-pria berjas itu, mereka masuk dengan
paksa ke dalam rumah, menghambur-hamburkan barang-barang disekitar kamar dan
ruang tamu. Yiyi yang kaget kamarnya dihampiri pria-pria asing, segera
menghampiri dan memeluk ibunya. 10 menit cukup untuk memberantaki seisi rumah,
namun mereka masih tidak juga menemukan buku itu.
Kesal karena barang yang dicari tidak ditemukan, pria besar itu mengambil sebuah Pistol Flintlock buatan
Perancis sepanjang 45 cm dan mengarahkan kepada Chun Yang.
“Dimana buku itu?”
Chun Yang yang sangat
ketakutan bersujud di hadapan mereka sambil memohon untuk tidak ditembak tanpa
menjawab pertanyaan.
“Aku punya buku”
Suara Yiyi tiba-tiba
mengheningkan suasana sejenak. Sang pria bertubuh besar menghampiri Yiyi untuk
bertanya lebih dekat
“Yiyi” Ibunya mendekap Yiyi
erat dan memegang mulutnya
“Dimana buku itu, nak?”
“Itu hanya buku gambar”
langsung saja mulut Chun Yang melemparkan jawaban asal supaya anaknya selamat
“Diam!!! Aku sedang berbicara
dengan anak mu.” bentaknya kesal “Dimana buku itu?”
Yiyi kecil berjalan menuju
kamarnya, mengambil sesuatu untuk diberikan kepada pria itu dengan harapan
mereka tidak memarahi ayahnya lagi. Yiyi keluar dari kamar sambil memegang
sebuah buku bersampul hitam dan menyerahkannya kepada pria
itu.
Wajah pria itu sumringah
saat melihat buku yang dibawa Yiyi, perlahan namun pasti pria itu
membuka halaman pertama dan menemukan tulisan “Tu hua xu. Buku gambar”. Pria itu kembali kecewa dan membanting
bukunya.
“Jangan main-main dengan ku! Dimana
buku itu?”
“Yang aku punya buku itu tuan”
Jawab Yiyi sambil
terisak-isak menangis ketakutan. Ibunya kembali memeluk Yiyi untuk
menjauhkannya dari pria itu. Habis sudah kesabarannya, ia kembali mengarahkan
pistolnya ke arah Chun Yang.
“Bukuuu… Dimana buku itu?”
bentaknya lagi
“Sungguh tuan, saya tidak
mempunyai buku yang tuan maksud. Kalian juga sudah menggeledah tempat ini dan
tidak menemukan apa-apa”
Jawaban Chun Yang tak dapat
meredam kemarahan pria itu. Pitam yang sudah naik sampai di ubun kepala
menggerakan tangannya itu untuk menarik pelatuknya. Percikan api yang
menjalar menuju sumbu pistol, melayangkan peluru-peluru bulat ke dada Chun
Yang. Tiga letupan senjata api mengakhiri urusan Chun Yang dengan pria-pria
berjas itu. Mereka pergi meninggalkan Chun Yang yang bersimbah darah.
Setelah pria-pria itu
menghilang dari hadapan keluarga Mao, Chun Yang mengambil buku yang tersimpan
dibalik celananya dan memberikan kepada istrinya sebagai warisan terakhir.
“Tolong serahkan buku ini
kepada komisaris Lin Ze Xu, pedagang-pedagang gelap itu harus segera di
penjarakan, opium harus musnah dari negeri Cina”
Kalimat
terakhir Chun Yang
menjadi penutup hidupnya. Mei Hua mengambil buku itu dari tangan
suaminya sambil terus-menerus menangis dan memeluk Yiyi yang sedang
ketakutan. Ketakutan karena melihat ayahnya
berlumuran darah dan tak bergerak dengan mata terbelalak. Yiyi tak
mengerti apa
maksud dari ucapan ayahnya tadi dan mengapa buku baru yang dipegang sang
ibu
harus membuat ayahnya diam tak bersuara. Yiyi juga mungkin tidak akan
pernah tahu, bahwa cerita hari ini akan membuat buku barunya menjadi
sebuah sejarah yang membawa Cina kepada Perang Opium I.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar