Kamis, 12 April 2012

Kutub negatif


Kata teman-teman ku kita ini cocok. Saling melengkapi satu sama lain, saling mengisi kekosongan yang telah bersemayam lama di rongga-rongga dada, kita saling memiliki ketertarikan yang kuat, dan hidup kita begitu bahagia. Tapi bukan hidup namanya jika kita tidak punya masalah, yang menjadikan kita seperti sekarang. Tak berbicara, tak saling menyapa, bahkan mungkin tak saling mengenal.

Sudah 2 minggu aku tak mendapat kabar dari mu. Semenjak pertengkaran kita, kau jadi sering diam dan sering bepergian keluar tanpa memberi tahu. Aku mencoba untuk melelehkan kembali gunung es yang tumbuh besar di hati mu. Meskipun hasilnya tidak seperti yang ku harapkan, tapi paling tidak kau masih mengeluarkan beberapa patah kata untuk dibicarakan dengan ku. Sayangnya, es itu kembali membeku saat kau tidak menyukai ku jalan dengan teman-teman pria ku. Cemburu kata mu. Ah, tapi aku lebih suka menyebutnya posesif. Aku bisa menerima itu karena itu lah aku menyukai mu. Tapi aku tidak bisa menerima sikap mu yang diam terus seperti ini. Entah kemasukan setan apa, aku mengamuk di depan mu. Yang sebenarnya maksud ku hanya ingin kau bicara pada ku. Aku tidak bisa terus-menerus menetap dalam keadaan diam seperti ini. Bukan kata-kata yang ku dapat, tapi kau memilih pergi dan tidak memberi kabar hingga sekarang.

Aku membuka kembali album kenangan kita, disana ada tawa bahagia mu saat hari ulang tahun mu. Aku ingat saat itu. Kau menyanyikan lagu ulang tahun untuk diri mu sendiri. Kau tak peduli anggapan aneh orang-orang di kafe itu saat kau menyanyikan lagunya dengan penuh nada sumbang. Setelah meniup lilinnya, kau bilang pada ku “kita ini seperti magnet, saling tarik-menarik karena kita memiliki perbedaan pada kutubnya. Aku lah kutub negatifnya, dan kau lah kutub positif ku” begitu katamu. Meskipun tidak semua orang sependapat dengan itu. Kau tahu kan? Setiap pendapat pasti ada yang pro dan ada yang kontra. Aku tak mempedulikan itu selama kita masih bersama.

“Wi, gue lihat Santo jalan sama cewe lain”
“Mungkin temannya kali”
“Beda Wi, ini jalannya mesra banget”

Bagaimana mungkin itu terjadi? Hanya karena aku mengamuk dan kau berubah secepat itu.

“Wi… Wi… lo masih dengerin gue kan?”
“Eh iya, terus-terus?”
“Menurut gue, mending lo ke rumahnya deh, tanya baik-baik”

Sambungan telepon terputus setelah kata bye diucapkan. Ragu rasanya, tapi paling tidak aku mungkin bisa menemui mu lagi bila aku ke rumah mu.

Perjalanan ini terasa sangat mendebarkan, ada rasa tak percaya, khawatir, dan ada harapan untuk kembali. Taksi ku melintas di jalan besar Pulomas, hampir sampai ke rumah mu. Ku buang semua rasa resah dan khawatir dan menyiapkan uang untuk membayar ongkos.

“Di depan situ berhenti ya pak”

Taksi ku meminggir di rumah bernomor 20. Ku lihat rumah ini masih sama seperti dulu saat kau meminta ku menjemput mu di sini. Saat kau ingin pergi dan menutup mata mengenai urusan perceraian orang tua mu.

“Ting-tong…”

Ku pencet bel dan menemui sosok yang mirip dengan mu, hanya terlihat lebih tua, lebih beruban, dan berparas lebih bijak.

“Siang om, Santo ada?”

Cukup lama pak Darman memandang ku, dari ujung rambut ke ujung kaki, kemudian kembali lagi menatap ku.
 
“Kita bicara di luar sebentar ya, ada yang ingin om bicarakan dengan mu”

Teras di depan rumah ini terasa lebih dingin dari sebelumnya, atau aku yang terlalu gugup bicara dengan ayahnya? Dua buah kursi berjejer di depan rumah siap untuk diduduki, meja keramik di antaranya menjadi pemanis teras sebagai tempat berbincang kami berdua.

“Nak Wi, kamu tahu kan bahwa hubungan kamu dengan anak bapak tidak bisa diteruskan?”

Aku terdiam, menelan ludah yang hampir mengering.

“Kamu tahu magnet kan? Kutub negatif tidak akan bisa saling tarik-menarik dengan kutub negatif lainnya. Sifatnya pasti tolak-menolak. Dan Santo, dia mungkin hanya bentuk magnet yang salah dibuat oleh kami, kedua orang tuanya. Dan saya sedang berusaha keras untuk membentuk kembali magnet yang benar untuk Santo.”

Bisa kubayangkan bagaimana sebuah magnet harus dibakar, dibanting, dipukul-pukul untuk menghilangkan dayanya dan dibentuk kembali menjadi magnet yang baru hingga menjadi Santo yang sekarang.

“Sebaiknya nak Widodo pergi saja dari sini dan jangan temui anak saya lagi. Saya tidak ingin magnet baru yang sudah saya bentuk ini menjadi kacau lagi hanya karena kehadiran nak Widodo disini.”

Dia masuk kembali ke dalam rumah tanpa salam sampai jumpa, seperti memang tidak ada kesempatan lagi bagi ku untuk bersama Santo. Ya, pak Darman benar, aku ini hanya kutub negatif. Kutub negatif yang ingin menjadi kutub positifnya Santo. Namun bagaimana besarnya keinginan ku tak akan mengubah cerita hari ini menjadi cerita yang happy ending bagi aku, Widodo dengan Santo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar