Kata teman-teman ku kita ini
cocok. Saling melengkapi satu sama lain, saling mengisi kekosongan yang telah
bersemayam lama di rongga-rongga dada, kita saling memiliki ketertarikan yang
kuat, dan hidup kita begitu bahagia. Tapi bukan hidup namanya jika kita tidak
punya masalah, yang menjadikan kita seperti sekarang. Tak berbicara, tak saling
menyapa, bahkan mungkin tak saling mengenal.
Sudah 2 minggu aku tak
mendapat kabar dari mu. Semenjak pertengkaran kita, kau jadi sering diam dan
sering bepergian keluar tanpa memberi tahu. Aku mencoba untuk melelehkan
kembali gunung es yang tumbuh besar di hati mu. Meskipun hasilnya tidak seperti
yang ku harapkan, tapi paling tidak kau masih mengeluarkan beberapa patah kata
untuk dibicarakan dengan ku. Sayangnya, es itu kembali membeku saat kau tidak
menyukai ku jalan dengan teman-teman pria ku. Cemburu kata mu. Ah, tapi aku
lebih suka menyebutnya posesif. Aku bisa menerima itu karena itu lah aku
menyukai mu. Tapi aku tidak bisa menerima sikap mu yang diam terus seperti ini.
Entah kemasukan setan apa, aku mengamuk di depan mu. Yang sebenarnya maksud ku
hanya ingin kau bicara pada ku. Aku tidak bisa terus-menerus menetap dalam
keadaan diam seperti ini. Bukan kata-kata yang ku dapat, tapi kau memilih pergi
dan tidak memberi kabar hingga sekarang.
Aku membuka kembali album
kenangan kita, disana ada tawa bahagia mu saat hari ulang tahun mu. Aku ingat
saat itu. Kau menyanyikan lagu ulang tahun untuk diri mu sendiri. Kau tak
peduli anggapan aneh orang-orang di kafe itu saat kau menyanyikan lagunya
dengan penuh nada sumbang. Setelah meniup lilinnya, kau bilang pada ku “kita
ini seperti magnet, saling tarik-menarik karena kita memiliki perbedaan pada
kutubnya. Aku lah kutub negatifnya, dan kau lah kutub positif ku” begitu katamu.
Meskipun tidak semua orang sependapat dengan itu. Kau tahu kan? Setiap pendapat
pasti ada yang pro dan ada yang kontra. Aku tak mempedulikan itu selama kita
masih bersama.
“Wi, gue lihat Santo jalan
sama cewe lain”
“Mungkin temannya kali”
“Beda Wi, ini jalannya mesra
banget”
Bagaimana mungkin itu
terjadi? Hanya karena aku mengamuk dan kau berubah secepat itu.
“Wi… Wi… lo masih dengerin
gue kan?”
“Eh iya, terus-terus?”
“Menurut gue, mending lo ke
rumahnya deh, tanya baik-baik”
Sambungan telepon terputus
setelah kata bye diucapkan. Ragu rasanya,
tapi paling tidak aku mungkin bisa menemui mu lagi bila aku ke rumah mu.
Perjalanan ini terasa sangat
mendebarkan, ada rasa tak percaya, khawatir, dan ada harapan untuk kembali. Taksi
ku melintas di jalan besar Pulomas, hampir sampai ke rumah mu. Ku buang semua
rasa resah dan khawatir dan menyiapkan uang untuk membayar ongkos.
“Di depan situ berhenti ya
pak”
Taksi ku meminggir di rumah
bernomor 20. Ku lihat rumah ini masih sama seperti dulu saat kau meminta ku
menjemput mu di sini. Saat kau ingin pergi dan menutup mata mengenai urusan
perceraian orang tua mu.
“Ting-tong…”
Ku pencet bel dan menemui
sosok yang mirip dengan mu, hanya terlihat lebih tua, lebih beruban, dan
berparas lebih bijak.
“Siang om, Santo ada?”
Cukup lama pak Darman
memandang ku, dari ujung rambut ke ujung kaki, kemudian kembali lagi menatap
ku.
“Kita bicara di luar
sebentar ya, ada yang ingin om bicarakan dengan mu”
Teras di depan rumah ini
terasa lebih dingin dari sebelumnya, atau aku yang terlalu gugup bicara dengan
ayahnya? Dua buah kursi berjejer di depan rumah siap untuk diduduki, meja
keramik di antaranya menjadi pemanis teras sebagai tempat berbincang kami
berdua.
“Nak Wi, kamu tahu kan bahwa
hubungan kamu dengan anak bapak tidak bisa diteruskan?”
Aku terdiam, menelan ludah
yang hampir mengering.
“Kamu tahu magnet kan? Kutub
negatif tidak akan bisa saling tarik-menarik dengan kutub negatif lainnya. Sifatnya
pasti tolak-menolak. Dan Santo, dia mungkin hanya bentuk magnet yang salah
dibuat oleh kami, kedua orang tuanya. Dan saya sedang berusaha keras untuk
membentuk kembali magnet yang benar untuk Santo.”
Bisa kubayangkan bagaimana
sebuah magnet harus dibakar, dibanting, dipukul-pukul untuk menghilangkan
dayanya dan dibentuk kembali menjadi magnet yang baru hingga menjadi Santo yang
sekarang.
“Sebaiknya nak Widodo pergi saja
dari sini dan jangan temui anak saya lagi. Saya tidak ingin magnet baru yang
sudah saya bentuk ini menjadi kacau lagi hanya karena kehadiran nak Widodo
disini.”
Dia masuk kembali ke dalam
rumah tanpa salam sampai jumpa, seperti memang tidak ada kesempatan lagi bagi
ku untuk bersama Santo. Ya, pak Darman benar, aku ini hanya kutub negatif. Kutub
negatif yang ingin menjadi kutub positifnya Santo. Namun bagaimana besarnya
keinginan ku tak akan mengubah cerita hari ini menjadi cerita yang happy ending bagi aku, Widodo dengan Santo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar