Hari
ini aku memasuki ruang kantor dengan sedikit mengedap-endap. Setapak demi setapak menelusuri meja-meja yang kemudian
melewati ruangan kerja pak Roni, direktur perusahaan ini, aku sedikit melirik
ke dalamnya. Dan yang ku temui hanya pak
Jaja, office boy kantor yang sedang mengelap-elap monitor komputer pak
Roni. Seyum simpul menghiasi wajahku siang ini, ku langkahkan kaki dengan ringan menuju meja kerja
ku.
"Telat lagi ya Sis?"
"Eh Sari, iya nih hehehe..." senyum tiga jari ku tunjukkan sebagai rasa malu ku kepada Sari.
Sari hanya tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya kembali. Ku rapikan meja ku dan menyalakan komputer untuk mulai menyelesaikan tugas-tugas ku yang masih tertunda.
"Telat lagi ya Sis?"
"Eh Sari, iya nih hehehe..." senyum tiga jari ku tunjukkan sebagai rasa malu ku kepada Sari.
Sari hanya tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya kembali. Ku rapikan meja ku dan menyalakan komputer untuk mulai menyelesaikan tugas-tugas ku yang masih tertunda.
“Tik-tok...
tik-tok... tik-tok...”
Hanya
suara detik jam dinding yang terdengar. Suasana ruangan kantor sangat sepi
rasanya. Ku nyalakan musik di iPod ku
untuk menghentikan aksi ku yang selalu menguap setiap 15 menit sekali. Firework-Katy Perry, Marry You-Bruno Mars, Shake It Off-Agnes Monica, satu per satu
lagu dengan beat yang berdentum cepat
mengalun di telinga ku. Rasanya bukan semakin membaik, tapi mata ini malah semakin perih
melihat monitor cembung yang ada di depan ku ini. "Di jaman LCD yang udah
berkembang pesat seperti sekarang, masih aja pakai monitor layar cembung" keluh ku sambil mengusap-usap mata.
Ku letakan headset dan menjauh dari
meja kerja. Sambil merenggangkan otot-otot badan dan mengistirahatkan mata, aku
berjalan-jalan mengelilingi ruangan kantor. Sedikit ide iseng mengundang ku
untuk melangkahkan kaki menuju ruangan pak Roni.
“Eh
ada bu sekretaris, ngapain bu di sini?” sapa ku kepada bu Desi yang terlihat sedang mencari-cari sesuatu.
“Eh
Siska, saya lagi nyari berkas-berkas yang di minta pak Roni. Katanya minta
dikirimin ke rumah sakit”
Belum
sempat ku membuka mulut untuk melontarkan pertanyaan lanjutan, Indi datang membawa setumpuk kertas-kertas A4 yang sudah terisi tulisan-tulisan ber-font Arial.
“Bu
Desi, pak Roni mana? Saya mau kasih MOM waktu saya meeting di PT. Makmur Abadi kemarin nih bu”
“Oh
pak Roni masuk rumah sakit. Hari ini dia gak masuk. Kemarin dia pingsan, jadi
langsung di bawa ke rumah sakit. Katanya sih dia ngerasa mual-mual dan pusing
gitu, makanya ini saya mau bawain berkas-berkasnya dia ke rumah sakit”
“Hah?
Kok bisa? Sekarang keadaannya gimana?”
“Kata
dokter sih kena radiasi komputer. Dia sendiri udah mendingan sih, cuma dia
masih harus istirahat, takutnya ada efek lain gara-gara radiasi komputer itu”
“Itu
mah gara-gara monitornya tuh bu, masih aja pake monitor layar cembung begitu.
Ya udah deh kalau gitu, saya titip MOM-nya ya bu untuk dikasih ke si bos”
Indi
segera keluar dari ruangan setelah memberikan berkasnya kepada bu Desi,
sementara bu Desi masih membereskan berkas-berkas lainnya yang masih berceceran di atas meja.
“Bu,
ini protektor layarnya kemana?”
“Hilang
Sis, kemarin saya cari-cari di gudang juga gak ada stok protektor. Jadi ya cuma begini aja adanya”
Ku
perhatikan layar ini seperti masih baru. Tidak ada bekas-bekas kekuningan,
apalagi lecet-lecet. Persis seperti monitor yang baru dibeli.
“Monitor
ini baru dibeli ya bu? Kok kelihatannya mulus amat. Emangnya masih ada yang
jual?”
“Oh
itu stok dari gudang. Kan di bungkus plastik, jadi ya keliatan masih baru. Tapi
ini sih stok lama”
“Tapi
aneh ya bu, barang baru keluar dari gudang kok udah bikin efek radiasi yang
bikin orang sampai pusing-pusing begitu ya?”
“Ya
namanya stok lama, ya bisa jadi gara-gara udah lama gak di pakai jadi begitu”
Berkas-berkas
sudah terkumpul rapi dan dijadikan satu dalam amplop coklat besar, bu Desi segera
bergegas keluar dari ruangan dan aku masih mengamati monitor layar cembung
ini. Setelah beberapa lama memperhatikan layar, ku putuskan untuk kembali
ke meja ku. Baru melangkah setapak, aku seperti merasa menginjak sesuatu pada
karpet di dekat meja kantor pak Roni. Ku temukan sebuah besi kecil berbentuk
bundar setebal 0,5 cm. Tiba-tiba besi itu melekat pada pin kemeja ku yang juga
terbuat dari besi saat ku dekat kan ke arah tubuh ku. “Ini magnet dari mana
ya?” satu per satu pertanyaan keluar
saat melihat magnet itu. Pertanyaan yang terlalu panjang untuk dicari
jawabannya sekarang. Aku segera menyimpan magnet itu ke dalam saku celana dan
kembali ke meja kerja. Ku utak-atik komputer, menyelesaikan dengan segera
pekerjaan ku dan membuka-buka wikipedia untuk menjawab semua pertanyaan
yang masih bersarang di otak ku sedari tadi.
Waktu
sudah menunjukan pukul 18:30 WIB, semua orang sudah bergegas pulang termasuk
aku yang sudah mulai mengantuk dan ingin segera beristirahat. Ku langkah kan
kaki keluar ruangan dan mematikan lampu karena aku menjadi orang terakhir yang
keluar dari sana.
“Tik-tok...
tik-tok... tik-tok...”
Suara
detik jam dinding masih terasa sampai sini. 30 menit sudah aku menunggunya.
Suara langkah kaki itu akhirnya terdengar juga. Suara sepatu pantofel yang mengetok-ketok lantai memasuki
ruangan ini.
“Klik”
Lampu
ruangan ku nyalakan, ku lihat dia di ruangan pak Roni dengan wajah gugup
seperti maling yang tertangkap basah.
“Cari
ini?”
Ku
tunjukan magnet yang ku temukan tadi siang kepadanya.
“Ini
magnet ferit. Mempunyai daya tarik yang kecil terhadap besi atau benda yang
sejenisnya. Biasa digunakan dalam industri mainan, industri furnitur, induktor
elektronik, transformer, speaker suara, hiasan magnet kulkas, atau hiasan jepit
rambut seperti punya ibu, benar kan bu Desi?”
"Emmm... iya, saya cari itu. Tadi jatuh waktu saya beres-beres berkas”
“Oh
ya?”
Bu
Desi terdiam. Masih sedikit gugup namun seperti berusaha untuk membuat semuanya seperti tidak ada apa-apa.
“Produksi
hormon melatonin berkurang oleh adanya rangsangan dari
luar, misalnya cahaya serta medan elektromagnet. Medan elektromagnet dengan
intensitas tinggi dan dalam waktu yang lama dapat menurunkan produksi hormon
melatonin dan berpotensi menimbulkan berbagai keluhan, termasuk sakit kepala,
pusing, dan keletihan, serta insomnia. Mungkin hal itu tidak akan terjadi jika
efek radiasinya tidak begitu besar, tapi dengan menempelkan magnet di belakang
layar monitor dapat mempengaruhi intensitas radiasi menjadi semakin besar dan
dapat membahayakan si pemakai komputer”
Masih dengan diamnya, bu Desi hanya memainkan jari-jarinya untuk menghilangkan rasa takutnya
yang sudah memenuhi wajahnya.
“Dan
radiasi itu juga mungkin tidak berdampak sebesar itu kalau yang di tempel hanya
satu magnet ferit dengan daya kecil seperti ini. Saya menduga bu Desi
menempelkan magnet ferit ini lebih dari satu yang ibu simpan di balik jepit
rambut yang sedang ibu kenakan. Setelah pak Roni jatuh pingsan dan di bawa ke
rumah sakit, ibu mengambil kembali magnet-magnet itu, tapi malah terjatuh satu
di dekat meja pak Roni. Betul begitu?”
Wajahnya memerah dan matanya
mulai berkaca-kaca. Lidahnya seperti kelu tak dapat berkata-kata.
"Posisi monitor yang ibu pasang untuk pak Roni pakai juga terlalu tinggi dari posisi duduknya, sehingga mengganggu suplay udara yang masuk ke otak pak Roni yang memiliki darah rendah yang menyebabkan dia jatuh pingsan"
Dia menghapus air mata yang perlahan-lahan menetes keluar dari matanya. Kepalanya tertunduk melihat serpihan-serpihan debu di karpet yang sedari tadi menjadi saksi atas perbuatannya.
"Apa ibu tahu kalau ini bisa membahayakan hidup pak Roni? Apa ibu ingin membunuhnya?"
"Saya tidak bermaksud untuk membunuhnya. Hanya ingin memberi sedikit pelajaran kepadanya. Setiap hari dia selalu memarahi saya. Dia tidak pernah berterima kasih atas apa yang sudah saya lakukan untuknya. Baginya apapun yang saya kerjakan tidak pernah bagus di matanya. Saya sudah bekerja 5 tahun dengannya, tapi tidak ada penghargaan yang dia berikan kepada saya"
Mulut itu akhirnya terbuka, suara serak diiringi isak tangisan membuka pengakuannya malam ini.
"Saya hanya ingin dia merasakan bagaimana rasanya masuk rumah sakit akibat bekerja. Gara-gara dia, saya sampai harus menginap selama seminggu di rumah sakit dan dia masih saja memarahi saya saat saya mulai bekerja lagi"
Kini dia terdiam kembali setelah mengeluarkan segala unek-unek dan kekesalannya. Semua rasa, semua air mata, semua keletihannya, dia keluarkan tanpa sisa.
"Setelah ibu keluar dari rumah sakit, saya menyuruh ibu pulang cepat supaya gak drop lagi. Apa ibu ingat?"
Dia mengangguk tanda mengiyakan pertanyaan ku.
"Dan sebenarnya itu perintah dari pak Roni untuk menyuruh ibu pulang cepat. Dia sangat khawatir kalau kondisi ibu memburuk lagi kalau kerja terlalu keras."
Sebungkus tissue yang dia keluarkan dari tasnya sudah hampir habis untuk mengelap air matanya yang terus berjatuhan.
"Apa ibu tahu bahwa setiap diri manusia itu mempunyai magnetnya sendiri-sendiri? Memiliki kutub negatif dan kutub positifnya masing-masing, tapi kutub-kutubnya bersatu dalam satu magnet. Sama seperti pak Roni. Mungkin peringainya sedikit kasar dan suka marah-marah, tapi dia juga masih mempunyai rasa manusiawi dan punya rasa khawatir, hanya saja dia bukan tipe orang yang dengan mudah menunjukkan perasaannya. Dia masih peduli dengan bu Desi"
"Posisi monitor yang ibu pasang untuk pak Roni pakai juga terlalu tinggi dari posisi duduknya, sehingga mengganggu suplay udara yang masuk ke otak pak Roni yang memiliki darah rendah yang menyebabkan dia jatuh pingsan"
Dia menghapus air mata yang perlahan-lahan menetes keluar dari matanya. Kepalanya tertunduk melihat serpihan-serpihan debu di karpet yang sedari tadi menjadi saksi atas perbuatannya.
"Apa ibu tahu kalau ini bisa membahayakan hidup pak Roni? Apa ibu ingin membunuhnya?"
"Saya tidak bermaksud untuk membunuhnya. Hanya ingin memberi sedikit pelajaran kepadanya. Setiap hari dia selalu memarahi saya. Dia tidak pernah berterima kasih atas apa yang sudah saya lakukan untuknya. Baginya apapun yang saya kerjakan tidak pernah bagus di matanya. Saya sudah bekerja 5 tahun dengannya, tapi tidak ada penghargaan yang dia berikan kepada saya"
Mulut itu akhirnya terbuka, suara serak diiringi isak tangisan membuka pengakuannya malam ini.
"Saya hanya ingin dia merasakan bagaimana rasanya masuk rumah sakit akibat bekerja. Gara-gara dia, saya sampai harus menginap selama seminggu di rumah sakit dan dia masih saja memarahi saya saat saya mulai bekerja lagi"
Kini dia terdiam kembali setelah mengeluarkan segala unek-unek dan kekesalannya. Semua rasa, semua air mata, semua keletihannya, dia keluarkan tanpa sisa.
"Setelah ibu keluar dari rumah sakit, saya menyuruh ibu pulang cepat supaya gak drop lagi. Apa ibu ingat?"
Dia mengangguk tanda mengiyakan pertanyaan ku.
"Dan sebenarnya itu perintah dari pak Roni untuk menyuruh ibu pulang cepat. Dia sangat khawatir kalau kondisi ibu memburuk lagi kalau kerja terlalu keras."
Sebungkus tissue yang dia keluarkan dari tasnya sudah hampir habis untuk mengelap air matanya yang terus berjatuhan.
"Apa ibu tahu bahwa setiap diri manusia itu mempunyai magnetnya sendiri-sendiri? Memiliki kutub negatif dan kutub positifnya masing-masing, tapi kutub-kutubnya bersatu dalam satu magnet. Sama seperti pak Roni. Mungkin peringainya sedikit kasar dan suka marah-marah, tapi dia juga masih mempunyai rasa manusiawi dan punya rasa khawatir, hanya saja dia bukan tipe orang yang dengan mudah menunjukkan perasaannya. Dia masih peduli dengan bu Desi"
Wajahnya kini
hanya menyisakan rasa penyesalan dan isakan tangis yang mulai mereda. Meskipun demikian cerita hari ini akan terus menjadi harapannya untuk mendapatkan satu kata maaf yang belum terucap oleh si empunya
ruangan ini yang masih terbaring lesu di rumah sakit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar