Matahari ini tak pernah
sama, tak sama seperti yang kemarin, tak sama seperti senin siang yang terik
ini. Mungkin karena teriknya hingga menjadikan kafe ini sepi, menyisakan 4
orang yang sedang duduk dengan meja-meja terpisah. 2 orang tua yang seperti
sedang bernostalgia akan kisah mudanya, seorang remaja yang sedang sibuk dengan
gadget gaulnya, dan seorang lagi aku
yang sedang menuliskan sebuah cerita. Cerita hari ini mengenai aku dengan Max,
lelaki yang telah menemani ku selama 6 tahun, sampai akhirnya status in a relationship kami harus diganti. Dan
matahari ini telah berubah.
Malam itu aku datang ke
sebuah pesta. Pesta yang diadakan di rumah Max untuk merayakan cum laude S2 Manajemennya. Aku memakai fuchsia rosette dress dan membawa clutch bag pink dengan full payet. Baru setapak ku langkahkan
kaki menginjak rumahnya, suasana klasik begitu menyelimuti seisi ruangan. Instrumen-instrumen
Mozart berdentum mengayunkan kaki para tamu yang sedang berdansa, para pelayan
yang mengedarkan kue-kue kering dan gelas-gelas berisi sampanye, persis seperti
pesta para bangsawan. Sekitar 30 detik aku terpana menyaksikan pesta yang biasa
hanya ku lihat di televisi ini dan kini pesta itu ada di hadapan ku.
“Sunshine, kenapa diam saja? Ayo masuk.” Max memegang tangan ku dan
membawa ku ke tengah-tengah pesta.
“Oh ya Max, selamat ya sayang
atas kelulusan mu” ku peluk dan ku kecup pipi nya sebagai ucapan selamat.
“Terima kasih, cantik. Tapi maaf,
aku harus menemani seseorang dulu, nanti aku akan kembali lagi” ucapnya sambil
membalas kecupan
Aroma Axe Effect perlahan memudar seiring langkah kakinya menuju seorang
wanita yang mengenakan strapless long
prom dress merah yang begitu menggoda. Pelukan erat dan kecupan pipi menambah
kesan keakraban mereka ditambah beberapa percakapan yang menggoreskan lengkungan
senyum dan sedikit tawa kecil. Aku lebih memilih pergi mencari makanan yang
mungkin bisa dicicip dari pada mulai menumbuhkan rasa cemburu yang tidak
penting.
Almond
cheese cokelat, klapertart, dan puding semangka tampak menggoda
selera ku, namun aku hanya bisa mengambil buah-buahan yang tersaji untuk
menjaga berat badan ku.
“Kau sudah makan?”
“Oh Max, urusan mu sudah
selesai?”
“Sudah. Kau hanya makan buah
saja?”
Aku tersenyum mendengar
pertanyaan Max, tak bisa ku tampik lagi kalau aku memang sedang dalam masa diet.
“Oh ayolah Sunshine, apakah kau masih
mempertahankan diet konyol mu itu? Lihat lah tubuh mu, kau sudah tampak luar biasa
malam ini. Untuk apa kau melakukan diet lagi?”
Sekali lagi. Hanya senyum
yang bisa ku berikan atas pertanyaannya. Mungkin dia juga tidak tahu jika dress yang ku kenakan saat ini begitu
sempit dan bahkan hampir tidak dapat ku pakai.
“Ya, baiklah. Kita lupakan
dulu soal diet mu itu. Ada yang ingin ku bicarakan dengan mu. Mungkin ini akan
sedikit mengejutkan mu, tapi…”
Max terdiam, tampak gugup
dan sedikit kikuk. Aku terdiam memandang matanya yang tampak sedikit gusar.
“Sunshine, ku rasa ini semua harus diakhiri…”
“Diakhiri? Apanya yang
diakhiri?”
“Emmm…”
Belum sempat Max
mengutarakan maksudnya, rasa geli di perut membuat ku sedikit merinding.
“Maaf Max, aku harus ke
toilet sekarang. Bisa kau tunjukkan di mana toiletnya?”
Max mengarahkan telunjuknya
ke ujung koridor. Aku berjalan cepat menuju ke sana dan menemui sebuah pintu di
dalamnya.
“Kau lihat Max tadi?”
Seorang perempuan bertanya kepada
orang lain di luar pintu, terdengar seperti sebuah percakapan yang terjadi di
luar sana.
“Ya, dia tampak dekat dengan
Selena, mantan pacarnya waktu SMA dulu”
“Oh ya? Wanita yang bergaun
merah tadi itu Selena?”
“Ya, dia Selena”
“Jadi apakah mereka akan
melanjutkan hubungannya yang dulu?”
“Aku tidak tahu, tapi
mungkin saja begitu”
Aku segera membersihkan diri
dan menekan tombol flush. Seperti tersambar
petir, aku shock mendengar percakapan
mereka. Tidak mungkin dia tega meninggalkan ku hanya untuk kekasih lamanya. ‘Akhir’
tadi Max mengatakan ‘akhir’. apa yang dimaksudkan Max dengan kata-katanya tadi?
Apa yang diakhiri? Tidak mungkin dia meminta ku datang ke pesta ini hanya untuk
mengakhiri hubungan kami. Aku terus bertanya-tanya, aku terus merasa curiga. Jantung
ku berdetak kencang saat aku memikirkan untuk berpisah dengan Max, rasa takut
ku menjadi-jadi hingga mata ku sedikit berkaca-kaca. Matahari ini mungkin tak
pernah sama lagi, mendung kini menaungi ku masuk ke dalam pemikiran yang gelap
dan kelam.
Aku segera keluar dan
menghampiri Max, namun sepertinya dia sudah bersama wanita itu. Dekat, sangat
dekat jarak diantara mereka, sebegitu dekatnya hingga kaca yang telah tebentuk
pecah mengeluarkan tetesan air yang mengalir menyusuri pipi ku. Max mengajak
wanita itu ke tengah dan mengambil sebuah mic. Dia menatap ku dari kejauhan dengan
wajah yang masih sama tegangnya seperti tadi.
“Aku minta perhatian kepada
semuanya sebentar. Malam ini aku ingin mengumumkan sesuatu yang penting. Aku
mempunyai kekasih yang bernama Joyce. Dia ada di depan sana mengenakan gaun
berwana pink.”
Bak Miss Indonesia, semua
mata tertuju kepada ku yang sedang terdiam canggung. Aku segera menghapus air
mata supaya tidak merusak eye liner
ku yang sudah ku bentuk selama berjam-jam.
“Aku ingin membacakan sebuah
puisi untuknya. Puisi terakhir yang akan ku bacakan sebagai pacarnya. Ya, mungkin
saja setelah ini aku tidak akan menjadi pacarnya lagi”
Sontak jantung ku berhenti
meski hanya untuk sebentar. Kenyataan paling pahit yang ku bayangkan terjadi di
depan mata ku. Di depan puluhan orang di pesta ini.
Lantunan gesekan biola
mengalun dari tangan wanita bergaun merah itu, sebuah puisi terucap dari
mulutnya yang sedikit bergetar.
“Matahari
ku, hidup ku hangat bersama mu
Meski kita
tak lepas dari pertikaian
Meski ragu
datang mengganggu
Tapi
cahya mu tak hilang ditelan hujan
Matahari
ku, kau lah yang pertama bagiku
Melelehkan
es yang telah membeku
Merapuhkan
hati yang keras membatu
Hingga
membentuk ku menjadi yang baru
Matahari
ku, kau lah yang terakhir untukku
Ijinkan
ku menoreh senyuman itu
Membuat
kita menjadi satu
Maukah kau
menikah dengan ku?”
Alunan biola berhenti,
matanya memandang ku dengan penuh harap, sepenuh harapan mata-mata yang kini menatap
ku untuk menunggu sebuah jawaban.
“Aku… aku…” lidah ku kelu,
tak dapat mengutarakan apa-apa, tak dapat berpikir apa-apa.
Max datang menghampiri ku,
mendekat kepadaku dan memegang tanganku.
“Sunshine, would you illuminate me every morning and be my wife?”
Aku memeluknya. Mengucapkan beberapa
bisikkan kata yang hampir tidak bisa ku keluarkan.
“I do… I do…”
Sinar ini muncul kembali
sesudah awan gelap berkemul di hati dan pikiran ku. Kini matahari ini tak pernah
sama lagi, seperti status kami yang tak pernah sama lagi, we are married now.